Sabtu, 03 Januari 2015
Minggu, 27 Juli 2014
[FF] Stay Away - Part 10 (End)
Author :
Park Je Won
Title :
Stay Away
Main Cast :
B1A4, Sungmin Suju
Other Cast :
You can find.. :D
Legth :
Part
Genre :
Friendship, Family, Brothership
Note :
Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan
otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini
asli milik author.
Part 10 : The Final
Sungmin menatap lirih dinding dihadapannya. Menyesal akan
perbuatannya 10 tahun yang lalu pada kedua orangtuanya.
Flashback..
Sungmin yang saat itu
masih berumur 11 tahun, masih seorang anak yang sensitif dan tempramental. 5
tahun yang lalu appa dan eommanya mengirimnya ke Jepang dan menitipkannya pada
seorang ajussi. Setelah itu tidak ada kabar sama sekali. Sungmin yang merasa ditelantarkan
begitu saja oleh kedua orang tuanya marah dan kesal. Apalagi saat mengetahui
surat-surat yang diberikan padanya atas nama ‘appa dan eomma’ adalah surat
palsu yang ditulis oleh ajussi yang merawatnya.
Dan sekarang entah
waktu yang sangat tidak tepat atau memang takdirnya, dua orang paruh baya yang
duduk di depannya membuka paksa memori pahitnya 5 tahun yang lalu.
“Sungmin-ah.. Kau mau kembali
Seoul lagi kan?,” Sungmin mendelik tajam ke arah orangtuanya.
“Ani. Aku ini orang
jepang, bukan korea. Jangan pernah membawaku ke Seoul..,” Sungmin menjawab
dengan dingin.
“Sungmin-ah.. kami
benar-benar minta maaf atas kejadian 5 tahun yang lalu. Sungmin-ah.. kami
datang untuk menjaemputmu, kami ingin mengajakmu kembali ke keluargamu dan
hidup dengan bahagia, seperti dulu,” Sungmin masih menatap kedua orang itu
kesal. Dia tidak mempercayai satupun perkataan ajussi dan ajumma didepannya.
“Nugu? Keluarga?
Sebaiknya kalian pergi saja, aku tidak akan mengubah keputusanku sampai
kapanpun. Bahkan ajussi jauh lebih baik daripada kalian. Aku permisi,” Sungmin
langsung pergi memasuki kamarnya sambil membanting pintunya dengan keras,
menahan emosi yang hampir meledak saat itu juga. Ajumma dan ajussi yang merasa
terpukul karena perilaku anaknya hanya menahan air mata yang sudah hampir
terjatuh. Mereka tahu, ini bukan salah Sungmin. Ini salah mereka yang sampai
membuang anak itu hanya karena kurang biaya. Sementara itu, Sungmin sendiri
masih menangis dibalik pintu kamarnya. Dia tahu, dia sendiri tidak bisa berkata
begitu pada kedua orangtuanya, kata-kata itu muncul dengan sendirinya saat dia
teringat 5 tahun yang lalu.
“Mianhae, appa..
eomma,” gumam Sungmin sambil terus terisak, masih tidak menyangka dia yang
mengatakan hal seperti itu pada kedua orangtuanya. Pada dasarnya, dia memang
ingin ke Seoul, kembali ke keluarga lamanya yang sudah ditunggunya dari 5 tahun
yang lalu. Tapi, emosi yang lebih dominan dibandingkan rasa rindunya itu
membuatnya meledak setiap melihat orangtuanya.
Flashback end..
Namja itu menghela napasnya lagi, entah sudah yang keberapa
kalinya.
“Apa.. aku keterlaluan?,” Sungmin bergumam pelan, walaupun
dia sudah tahu jawabannya, tentu saja membentak orang tua sendiri tanpa alasan
bisa disebut keterlaluan. Tiba-tiba saat Sungmin berniat untuk merebahkan
tubuhnya di kasur empuknya, terdengar suara seseorang membuka pintu apartemen.
Sungmin yang mengira Sandeul baru pulang dari suatu tempat langsung mengubur
pemikirannya itu mengingat sekarang baru pukul 4 pagi. Tapi, Sungmin tetap diam,
menghiraukan pemikiran itu saat matanya mulai mengantuk. Sungmin masih
berpikir, dia tidak bisa tidur walaupun sudah sangat mengantuk. Apa kecelakaan
dongsaengnya pagi? Ani.. dari hasil penyelidikan polisi kan kecelakaan itu
malam. Apa takdir berubah dan kecelakaannya menjadi pagi?! Lalu.. suara
barusan.. apa Sandeul keluar? Bukan masuk?
Sungmin langsung berdiri dari tidurnya dan melangkah cepat
menuju kamar Sandeul. Berharap melihat dongsaengnya di dalam sana. Berharap
pikirannya salah dan dia akan melihat Sandeul sudah tertidur sekarang. Biar
bagaimanapun, takdir bisa saja berubah. Terutama karena dia sudah mengubah
takdir dongsaengnya semalam. Dan yang membuatnya kesal, dia sudah tidak tahu
lagi apa yang akan terjadi selanjutnya karena jalan cerita ini sudah berbeda,
bukan lagi sebulan yang lalu. Dia sudah membuat takdir baru.
“Sandeul-ah..?,” Sungmin memanggil dari depan pintu
dongsaengnya. Tidak ada jawaban, dia memutuskan untuk masuk. Kosong. Kemana
bocah itu malam-malam begini? Sugmin menutup pintu kamar dongsaengnya dan
mengambil ponsel dari sakunya, memutuskan menelepon Sandeul. Tapi yang
terdengar malah dering ponsel Sandeul dari dalam kamar itu. Sungmin memutuskan
sambungan teleponnya dan mendesis kesal. Sekarang dia menyesal tidak langsung
keluar setelah mendengar suara pintu terbuka
tadi. Dan sialnya, hujan yang tadinya hanya gerimis bertambah deras,
membuat hawa dingin menusuk sempurnya kulitnya biarpun sudah memakai baju
berlengan panjang.
“Lee Sandeul..!!,” Sungmin berteriak agak keras, berharap
orang yang dicarinya muncul karena barusan dipanggil. Setelah beberapa saat
masih tidak ada jawaban, Sungmin berjalan cepat ke arah sofa, mengambil jaket
tebalnya dan sebuah payung di sebelah pintu keluar apartemen.
~ ~ ~ ~ ~
Jinyoung yang baru pulang dari rumah CNU, setelah 3 jam
memikirkan resep kopi baru di restoran mereka berdiri meneduh di halte bis
setelah merasakan rintik-rintik kecil yang menimpa kepalanya menjadi besar dan
banyak. Setengah rambutnya sudah basah, beruntung dia membawa jaket. Setidaknya
tubuhnya tidak akan terlalu kedinginan walaupun sejujurnya tubuhnya sedikit
bergetar sekarang ini.
“Hyung..?,” terdengar suara yang memanggilnya dari belakang,
refleks Jinyoung membalikkan tubuhnya dan menemukan Gongchan yang juga setengah
basah sepertinya menatapnya dengan tatapan ehm.. bahagia? Bahagia karena
menemukan teman untuk meneduh di halte pagi-pagi buta seperti ini? Entahlah.
“Chan-ah.. kenapa kau pagi-pagi begini ada diluar?,”
Jinyoung yang heran melihat Gongchan ada diluar, padahal sekarang baru jam
setengah lima pagi. Biasanya namja itu masih asik dengan mimpinya di dunia
pororo.
“Ah~ seingatku aku minum dengan Sandeul hyung.. barusan aku
terbangun dan aku sudah ada di kamarku. Aku ingin mengurus dokumen appa yang
belum sempat kuurus kemarin malam,” Gongchan menjawab sambil berjalan mendekat
ke arah Jinyoung. Bau soju tercium jelas di hidung Jinyoung.
“Kau.. masih mabuk?,” Jinyoung bertanya ragu pada Gongchan.
“Ani.. sudah 3 jam yang lalu. Hanya masih sedikit pusing,
mungkin karena masih dibawah umur”
“Memangnya kenapa kau bisa sampai minum begitu?,”Jinyoung
duduku di kursi, diikuti Gongchan.
“Kau belum tahu ya? Appa meninggal..,” perkataan Gongchan
membuat Jinyoung langsung menoleh ke arah namja yang masih memandang kosong
hujan lebat diluar halte.
“Kau serius?”
“Hyung pikir ini bisa dijadikan candaan? Mian karena selama
ini berpura-pura tidak mengenalmu.. itu perjanjianku dengan appa”
“Gwaenchana.. bukan masalah bagiku,” Jinyoung tersenyum
kecil sambil terus memperhatikan hujan yang belum reda juga, malah semakin
lebat, seakan semua air untuk satu bulan tumpah dalam waktu yang bersamaan.
~ ~ ~ ~ ~
Sandeul masih berjalan sejak setengah jam yang lalu. Entah
dia mau kemana, yang jelas kakinya terus memaksanya berkeliling Seoul yang
masih agak sepi. Otaknya masih memikirkan perkataan Gongchan saat namja itu
mabuk. Kenapa Sungmin memilih bercerita yang sebenarnya dengan Gongchan
dibanding dengannya? Apa katanya? Sungmin memarahi orangtuanya dan menolak
kembali ke Seoul? Bukankah Sungmin bilang padanya appa dan eommanya tidak
pernah menghubunginya setelah dititipkan di Jepang? Lalu surat apa yang
dibacanya dulu? Apa Sungmin sendiri yang membuatnya? Atau rencana appa dan
eommanya juga?
Ah..! Kepalanya serasa mau pecah sekarang. Belum lagi
ditambah hujan yang terus mengguyurnya selama setengah jam ini. Dingin juga
sudah menusuk kulit putihnya sampai ke tulang. Dengan cerobohnya, bukan..
dengan malasnya dia keluar apartemen tanpa membawa jaket ataupun payung. Bodoh
memang, padahal sejak keluar apartemen dia tahu kalau diluar gerimis. Dan
sekarang tidak ada niat sama sekali dari tubuhnya untuk sekedar berlindung dari
hujan deras, biarpun kepalanya sudah pusing dan wajahnya pucat pasi. Sandeul
masih berjalan santai kedepan, tidak menyadari seseorang mengikutinya dari
belakang. Dia tidak peduli lagi kalau sakit, bahkan dia tidak peduli lagi kalau
sampai pingsan.
Sementara itu, Jinyoung dan Gongchan yang masih hening,
sama-sama terkejut melihat seseorang di sebrang jalan yang berjalan dengan
santainya, seolah langit cerah sedang menyapanya dengan tersenyum saat ini.
“Apa dia gila?!,” refleks yang bersamaan. Jinyoung dan
Gongchan yang sama-sama terkejut memekik heran. Apa-apaan orang itu? Cuaca
sedingin ini hanya memakai kaos pendek dan tipis? Mau bunuh diri ya..?! Dan hal
yang paling membuat mereka terkejut adalah.. namja itu Sandeul..?
“Lee Sandeul!!,” Jinyoung langsung berdiri dan berteriak,
berusaha mengeluarkan suara terbesarnya untuk melawan derasnya hujan.
“Sandeul hyung!!,” Gongchan juga berteriak disebelahnya. Merasa
ada yang memanggilnya, Sandeul bukannya menoleh malah mempercepat langkahnya,
dia tidak ingin bertemu siapapun saat ini. Jinyoung dan Gongchan tidak mungkin
mengejar namja yang sudah semakin jauh itu kalau tidak mau demam 2 jam
kemudian. Gongchan hanya menghela napas kesal.
“Apa yang dilakukannya disini?,” Jinyoung berbicara dengan
sedikit emosi. Bagaimana kalau Sandeul sakit? Lagipula dimana Sungmin? Apa
bocah ini pergi diam-diam? Tidak lama kemudian, terlihat namja lainnya yang
berjalan terburu-buru sambil melihat sekeliling dengan membawa payungnya,
terlihat jelas dia sedang mencari seseorang. Lee Sungmin, panjang umur kau.
Jinyoung dan Gongchan menghela napas lega. Saat Sungmin menoleh ke arah mereka,
seakan tahu apa yang ingin ditanyakan Sungmin, Jinyoung dan Gongchan langsung
menunjuk ke arah kanan, menandakan Sandeul baru pergi kesana. Sungmin
mengangguk dan tersenyum lebar, seakan mengatakan terimakasih.
~ ~ ~ ~ ~
“Sandeul-ah!,” untuk kesekian kalinya Sungmin berteriak
keras melawan suara lebatnya hujan pagi ini. Dia yakin beberapa jam lagi
tenggorokannya pasti langsung sakit karena terlalu keras berteriak-teriak.
Sedangkan Sandeul, seakan tidak mendengar, semakin mempercepat jalannya dan
tanpa disadari dia berlari menjauh dari Sungmin. Dia hanya tidak ingin bertemu
siapapun, dia hanya ingin sendiri. Tapi, tubuhnya yang memang sudah terasa
lemas dari kemarin malam, memaksanya berhenti tidak jauh dari sana.
“Lee Sandeul,” Sungmin yang tidak bisa dibilang bodoh
langsung menghampiri Sandeul dan berdiri didepannya. Sandeul yang melihatnya
hanya menatap hyungnya, antara kesal, memelas, maaf, takut, semuanya menjadi
satu. Ia kesal karena Sungmin membohonginya, ia ingin manja seperti biasanya,
dan terkakhir, ia takut hyungnya tiba-tiba marah karena keluar tanpa izin.
Sejujurnya, Sungmin agak kaget melihat keadaan Sandeul. Wajah pucat pasi yang
terlihat jelas dan tubuh yang terlihat bergetar kedinginan itu membuat emosinya
meluap dan tergantikan dengan rasa kekawatiran.
“Sandeul-ah..,” Sungmin melangkah maju. Tapi, sebaliknya
Sandeul malah melangkah mundur. Dan Sungmin yang menyadari hal itu berhenti
melangkah.
“Wae?,” Sungmin menatap ragu dongsaengnya yang sekarang
menatap kecewa ke arahnya.
“Wae? Harusnya aku yang bilang begitu padamu, hyung..,”
suara bergetar yang dikeluarkan Sandeul membuat Sungmin diam, dia hafal situasi
ini. Dan dia tidak ingin dongsaengnya pingsan sebentar lagi.
“Sandeul-ah.. ayo pulang. Sekarang,” Sungmin berjalan
mendekat tapi Sandeul malah mundur lagi, seperti kejadian sebelumnya.
“Wae? Kenapa kau berbohong? Katamu kau tidak pernah bertemu
appa dan eomma!!,” teriakan Sandeul membuat Sungmin diam, tidak bergerak sama sekali.
Darimana Sandeul tahu hal ini?
“Kenapa tidak memberitahuku? Kenapa kau berbohong, HAH?!,”
Sandeul berteriak kesal, sedangkan Sungmin masih mematung ditempatnya. Beberapa
detik hening.. hanya ada suara derasnya hujan sampai Sungmin tersadar saat melihat
mata Sandeul yang mulai sayu. Bodoh.. anak itu bisa pingsan sekarang juga kalau
kau tidak menolongnya, Lee Sungmin.
“Sa..sandeul-ah,” Sungmin melangkah lagi, tapi langkahnya
langsung berhenti saat melihat cairan bening yang terhapus oleh hujan. Dia tahu
Sandeul menangis. Mungkin lebih baik mati sekarang kalau Sungmin tetap memaksa
mendekatinya. Tidak akan jadi masalah kalau Sandeul sekedar tahu Sungmin pernah
bertemu kedua orangtuanya dan membohonginya, itu bukan masalah sama sekali bagi
Sandeul. Tapi, dia juga tahu Sungmin yang memarahi kedua orangtuanya dan pergi
begitu saja.
“Eomma sampai berpura-pura menikah dengan orang lain hanya
karena ingin memberikan hidup yang layak untuk anak-anaknya! Dan sekarang aku
tahu.. penyebab utama eomma melakukannya itu karenamu, hyung!!,” perkataan
Sandeul memang benar. Penyebab utama eomma dan appanya seperti itu karena sakit
hati tidak bisa memberikan uang yang cukup untuk anak sendiri, malu menjadi
orang tua yang bahkan menitipkan anaknya pada orang lain.
“Geumanhae. Ayo pulang sekarang, Lee Sandeul.,” Sungmin
berkata dengan datar, menahan emosi yang hampir mengeluarkan air matanya secara
otomatis.
“Mwo? Bahkah kau saja tidak tahu nama asliku kan? Namaku
bukan Lee Sandeul! Itu hanya panggilan! Namaku Lee Junghwan, pabo!!,” Sandeul
berteriak kesal. Entah kenapa dia ingin dipanggil Junghwan sekali saja. Dia
ingin kembali ke kehidupan damainya saat masih dipanggil Junghwan dulu.
Perlahan, nafas namja ini semakin berat, dadanya terasa sesak. Kepalanya pusing
dan serasa ingin muntah. Setelah itu yang bisa didengarnya hanya suara Sungmin
yang memanggil namanya berulang kali, itupun semakin lama semakin mengecil,
pandangannya pun sudah gelap total.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung.. kau bisa datang ke rumah sakit sekarang?,” Baro menelepon
Sungmin setelah ada seorang ajumma yang mencari Sungmin untuk berobat suaminya,
pasien tetap Dokter Lee.
“Mian, Baro-ya.. aku tidak bisa,” Sungmin menjawab dengan
nada menyesal pada Baro.
“Tapi, hyung.. pasien hyung mencarimu. Katanya suaminya
pingsan beberapa jam yang lalu,” perkataan Baro membuat Sungmin teringat ajussi
pasiennya, pasien yang juga pindahan dari Jepang ke Korea.
“Ah~ Kim ajussi? Tunggu sebentar,” Baro tersenyum pada
ajumma didepannya, yang sedati tadi mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek
keadaan Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin
menghela napas berat. Tidak bisa.. harus
dibawa ke rumah sakit.mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek keadaan
Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin
menghela napas berat. Tidak bisa.. harus
dibawa ke rumah sakit.
“Aku akan kesana sekarang,” perkataan Sungmin membuat Baro
tersenyum lalu mengangguk pada ajumma yang juga tersenyum lega. Setelah itu
sambungan telepon terputus.
“Sebentar lagi dia datang,” perkataan Baro membuat senyum
ajumma itu semakin lebar.
“Kamsahamnida.. jeongmal kamsahamnida,” ajumma itu menyalami
Baro yang sedikit menunduk itu.
~ ~ ~ ~ ~
Sungmin yang sedang berbicara dengan ajumma tentang keadaan
suaminya mengirimi Baro pesan untuk datang ke kamar nomor 207. Baro yang
bingung hanya menuruti tanpa protes. Dan sekarang, Baro terkejut saat melihat
nama yang tercantum di depan pintu bernomor 207 itu. Tertulis, ‘Pintu 207, Lee
Junghwan’. Detik selanjutnya, Baro memasuki kamar dengan terburu-buru. Apa yang
anak ini lakukan sampai bisa masuk rumah sakit pagi-pagi begini? Baro
mengurungkan niatnya untuk teriak saat melihat namja itu masih tertidur. Atau
pingsan? Entahlah.. yang jelas matanya tertutup sekarang. Baro mendekatkan
kursi yang agak jauh ke dekat tempat tidur Sandeul. ada pa sebenarnya? Kenapa
dia bisa ada disini? Wajahnya tidak lebam atau luka.. hanya pucat. Tidak lama
kemudian, Sungmin masuk. Baro yang melihatnya langsung berdiri.
“Hyung.. ada apa sebenarnya?,” Baro langsung bertanya dengan
wajah kawatir.
“Masalahku.. ini salahku. Baro-ya.. aku bisa menitipkannya
padamu kan? Di rumah sakit aku hanya dokternya, bukan hyungnya..,” Sungmin
tersenyum miris. Janjinya benar-benar membuatnya tidak bebas.
“Arasseo.. gwaenchana,” Baro tersenyum sedikit. Dia ingat
saat appanya juga memperlakukannya seperti itu. Sungmin mendekat ke arah
Sandeul dan memeriksa keadaannya.
“Sudah membaik. Aku pergi dulu,” Sungmin berjalan keluar
kamar. Baro kembali duduk dan Sandeul mulai membuka matanya. Perlahan, cahaya
masuk ke dalam matanya.
“Kau sadar?,” suara Baro membuat Sandeul menoleh ke arahnya
dan berusaha menegakkan tubuhnya.
“Kenapa aku bisa ada disini?”
“Entahlah.. saat melihat namamu di pintu depan aku langsung
masuk..,” Baro menjawab sambil tersenyum. Sedangkan Sandeul masih berusaha
memutar otaknya. Ah~ dia ingat sekarang. Setelah membentak hyungnya dia
langsung pingsan. Jadi Sungmin yang membawanya kemari? Sepertinya dia harus
minta maaf karena sudah membentaknya. Lamunan Sandeul dibuyarkan dengan suara
nyaring dari ponsel milik Baro.
“Ne, eomma?”
“Ah~ sekarang?,” Baro melirik ke arah Sandeul.
“Gwaenchana,” Sandeul seakan mengetahui maksud Baro,
menjawabnya pelan.
“Arasseo..,” Baro menutup teleponnya.
“Sandeul-ah.. mian eommaku menyuruhku pulang,” Baro
tersenyum ragu ke arah Sandeul, Sandeul hanya tersenyum seperti biasa.
“Gwaenchana.. pulanglah,” Sandeul menyuruh Baro untuk
pulang. Sedangkan Baro hanya mengangguk sambil tersenyum senang.
“Aku pergi. Jaga dirimu!,” Baro langsung melesat ke arah
pintu keluar. Sandeul yang melihatnya hanya memandang aneh ke arah pintu yang
sudah tertutup rapat.
Oh iya, Sungmin.. dia hampir lupa ingin meminta maaf pada
Sungmin.
~ ~ ~ ~ ~
“Wae shireo? Ini enak~,” Sungmin yang sedang membujuk pasien
laki-laki berumur 5 tahun itu berjongkok untuk menyamakan tinggi badan mereka.
Mendengar pasiennya tidak mau makan obat membuatnya harus membujuk dengan cara
tersendiri.
“Obat itu pahit~ Seojoon tidak mau meminumnya..!,” anak
kecil itu masih tidak mau meminumnya.
“Tidak pahit.. ini enak, Seojoon-ah.. Obat ini sudah
dimasukkan kedalam madu.. kau minum ya? Ini manis kok,” Sungmin masih
menyodorkan segelas madu yang sudah dicampur dengan obat. Seojoon masih
terlihat ragu untuk meminumnya tapi pada akhirnya dia mengambil dam meminumnya.
“Enak~”
“Benar kan? Nanti sore kau minta eommamu membuatkannya
untukmu.. sekarang kembali ke kamar dan istirahatlah..,” Seojoon yang tadinya
ditemani suster itu dibawa kembali ke kamarnya.
Sungmin yang menyadari ada yang memperhatikannya membalikkan
tubuhnya saat Seojoon sudah masuk ke kamarnya.
Sandeul masih berdiri di tempatnya sambil memegang tiang
infusnya. Dia melihat Sungmin yang masih memperhatikan pintu yang sudah
tertutup, setelah itu Sungmin tiba-tiba menoleh ke arahnya.
“Sudah sadar? Ada yang sakit?,” Sungmin tersenyum sambil
berjalan mendekat ke arahnya.
“Hyung..”
“Ah~ Baro belum memberitahumu? Sandeul-ssi.. Disini aku
doktermu, bukan hyungmu.. Isitrahatlah dulu, kau belum boleh banyak berjalan,”
Sungmin berjalan mendahului Sandeul. Tapi langkahnya berhenti saat mendengar
Sandeul berbicara lagi padanya.
“Hyung.. mianhae..”
“Sandeul-ssi,” Sungmin berbalik sambil mentap Sandeul datar,
biarpun sebenarnya siapapun yang melihatnya tahu Sungmin menahan emosinya lewat
tatapan datar itu.
“Aku tidak peduli. Bisakah aku menganggapku dongsaeng
disini? Hanya 2 menit.. aku janji,” suara Sandeul yang bergetar membuat tatapan
Sungmin melunak. Bolehkah dia melanggar janjinya? Hanya 2 menit kan? Sepertinya
tidak apa-apa. Dia ingin melanggar janji itu sekarang.
“Aku hanya ingin minta maaf. Aku janji akan selesai dalam 2
menit. Boleh kan?,” Sandeul bertanya lagi. Lagipula bukannya Sungmin yang harus
minta maaf? Bukankah Sungmin yang membohonginya?
“Baiklah.. katakan sekarang. 2 menit untukmu, Sandeul-ah,”
Sungmin menghela napas pasrah. Dia hanya berharap CCTV sedang rusak atau
penjaga CCTV itu tertidur.
“Aku mau minta maaf kemarin membentakmu. Mian kemarin
membuatmu kawatir. Dan sekali lagi mian merepotkanmu membawaku sampai kesini.
Aku sendiri tidak menyangka bisa mengatakan hal seperti itu padamu. Bisa
kau lupakan semua tuduhanku kemarin?
Termasuk saat aku mengtaimu pabo.. jeongmal mianhae, hyung,” Sandeul
menundukkan kepalanya. Merasa malu mengatai hyungnya sendiri pabo, penyebab
semua kejadian ini, dan hal lainnya.
“Wae? Kenapa kau minta maaf?”
“Ne?”
“Harusnya aku yang minta maaf..! Emosiku masih belum stabil
dulu. Kau tidak perlu minta maaf karena memang kau tidak salah. Mianhae, Lee
Junghwan,” Sungmin mendekat dan memeluk Sandeul pelan. Masih terasa tubuh
Sandeul yang terasa panas, demam anak ini belum sembuh ternyata.
“Hyung..”
“Kau masih sakit..! Cepat kembali ke kamarmu..!,” Sungmin
melepas pelukannya dan mendorong Sandeul agar kembali ke kamarnya sambil
tersenyum.
~ ~ ~ ~ ~
5 tahun kemudian..
Terdengar bel apartemen berbunyi. Sungmin yang berdiri tak
jauh dari sana langsung membukakan pintu.
“Baro-ya..!,” Sungmin mempersilahkan Baro masuk sambil
tersenyum.
“Sandeul tidak ada disini..”
“Ani.. aku mencarimu, hyung.. aku ingin minta diajarkan
materi ini,” Baro mengeluarkan buku kedokterannya dan memberikannya pada
Sungmin.
“Kau kuliah kedokteran?,” memang terakhir kali dia mendengar
Baro masuk kedokteran tapi, dia tidak tahu kalau itu kenyataan. Sungmin
tersenyum dan mulai menjelaskan materi pada Baro.
~ ~ ~ ~ ~
CNU yang membuka cabang kafe milik ayahnya sekarang sudah
memiliki 5 cabang hanya dalam waktu 2 tahun. Kafenya berkembang pesat sejak
semua menunya dia ubah bersama Jinyoung.
“Jinyoung-ah! Jangan lupa nanti malam..!,” seorang yeoja
yang tinggi dan cantik berteriak pada Jinyoung sebelum meninggalkan kafe.
“Arasseo!,” Jinyoung menjawabnya sambil tersenyum.
Yeojachingunya menerima ajakan kencannya dan itu membuatnya merasa sangat
senang. Terdengar suara seseorang dari belakang.
“Ehm.. Kau ini.. kenapa tidak sekarang saja?”
“Sekarang? Lalu kafenya?”
“Kau pikir aku hantu? Sana pergi!,” Jinyoung tersenyum pada
CNU sebelum meninggalkan celemek dan berlari keluar, mengejar yeojachingunya
yang sudah beberapa meter didepannya.
“Jinhee-ya~”
“Jinyoung-ah..! Bukannya..? Nanti malam?”
“Ani.. ayo ke taman sekarang!,” Jinyoung langsung menarik
tangan yeojachingunya ke taman yang mereka rencanakan malam ini.
~ ~ ~ ~ ~
“Ya! Sudah kubilang pusatkan kekuatanmu disini!,” terdengar
suara seorang namja yang memarahi muridnya di dalam ruang latikan taewondo.
“Ah~ sulit sekali..,” muridnya yang masih berumur sekitar 14
tahun itu mengeluh kesal karena balok itu masih belum pecah juga. Padahal dia
sudah mencoba memecahkannya lebih dari 10 kali.
“Baiklah.. intirahat dulu,” namja itu berjalan ke pojok
ruangan dan meminum air mineralnya.
“Sandeul hyung!,” Gongchan menghampiri Sandeul yang masih
duduk di pojok ruangan.
“Kau disini? Kupikir kau masih ada di perusahaanmu itu..,”
Gongchan hanya tersenyum menanggapinya.
“Hyung.. aku mau latihan.. sudah lama aku tidak latihan
bersamamu. Lagipula berada di perusahaan terus menerus membuatku muak dengan
apapun yang berhubungan dengan kertas,” Gongchan menyandarkan tubuhnya pada
dinding.
“Benarkah?,” Sandeul sedikit tersenyum menanggapinya. Gongchan
yang dikenalnya sekaranng bukan lagi namja manja yang dulu dikenalnya. Gongchan
yang sekarang sudah bertanggung jawab dan lebih dewasa.
“Kajja,” Gongchan menarik Sandeul ke ruang berlatih milik
mereka dan mulai berlatih.
Masa lalu yang tidak menyenangkan pasti tidak diharapkan
oleh semua orang..
Tapi, percayalah.. hidup itu adil..
Semua orang memiliki kelemahan biarpun fisik atau batin..
Dan semua orang juga memiliki kelebihan yang lain dari
pada orang lain..
Jadi, seburuk apapun masa lalu.. masih ada hari esok yang
memberikan kita harapan..
The end
[FF] Stay Away - Part 9
Author :
Park Je Won
Title :
Stay Away
Main Cast :
B1A4, Sungmin Suju
Other Cast :
You can find.. :D
Legth :
Part
Genre :
Friendship, Family, Brothership
Note :
Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan
otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini
asli milik author.
Part 9 : Sungmin’s Mission
“Datang lagi ya hyung..!!,” Baro melambaikan tangannya pada
Sungmin dan Sandeul yang sudah berjalan agak jauh dari kafe.
“Lain kali coba kalahkan aku!!,” Sungmin juga melambaikan
tangannya lalu lanjut berjalan.
“Sungmin hyung orang yang unik. Dia benar-benar bisa menebak
yang akan terjadi..,” CNU bergumam saat Sandeul dan Sungmin sudah tidak
terlihat lagi.
“Ne.. aku suka kepribadiannya,” Jinyoung menambahkan.
“Benar-benar seperti anak kembar..,” lanjut Baro. Sedangkan
Sandeul dan Sungmin yang sudah berjalan jauh itu masih hening.
“Sandeul-ah.. besok kau mau ikut aku ke apartemen kan?
Tinggallah bersamaku disana,” Sungmin memecah keheningan diantara mereka.
“Ne?,” Sandeul menatap Sungmin heran. Sungmin teringat
kejadiannya memaksa Sandeul untuk datang ke apartemen dan tinggal bersamanya
dulu dan hanya ada satu alasan yang bisa diterima dongsaengnya itu dan alasan
utamanya mengajak Sandeul tinggal di apartemen yang sudah dipesannya dari
kemarin, sebelum keberangkatannya ke Seoul.
“Aku merasa bersalah pada appa dan eomma. Lagipula mereka
yang menitipkanmu padaku.. tempat tinggal saja tidak bisa, bagaimana aku
menjagamu? Lakukan sesuai kata-kata appa dan eomma saja. Aku yakin mereka juga
tidak rela kau tinggal disana,” Sandeul terlihat berpikir, tidak lama kemudian
namja itu mengangguk pelan, menandakan tanda setuju pada hyungnya yang langsung
tersenyum senang.
“Besok pagi kau siapkan barang-barangmu. Siangnya kita
langsung pindah..,” Sungmin mempercepat langkahnya, mengingat jarum yang baru
dilihatnya pada jam tangannya itu menunjukkan pukul 12 malam.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung.. apa ini tidak berlebihan?,” Sandeul memperhatikan
sekeliling apartemennya.
“Gwaenchana.. ini penghargaan dari rumah sakit karena aku
sering memecahkan masalah dengan benar jadi ini gratis.. untuk 5 tahun,”
Sungmin manaruh kopernya di ruang tengah apartemen. Apartemen yang memang
sangat mewah itu.
“Wah~ sepertinya kau jenius,” Sandeul juga ikut membawa
barangnyaa.
“Ada 2 kamar. Kau mau yang mana?,” Sungmin memperhatikan 2
pintu kamar yang terbuka lebar.
“Sama saja. Terserah hyung mau yang mana,” Sandeul menjawab
sambil tersenyum. Tiba-tiba ponsel Sungmin berbunyi nyaring, panggilan dari
rumah sakit.
“Ne.. Sungmin imnida”
“Ah~ sekarang? Wae?”
“Ajussi kritis..?!”
“Aku akan datang dalam 10 menit. Siapkan ruang operasinya,”
Sungmin langsung menutup teleponnya.
“Sandeul-ah.. mian aku harus ke rumah sakit sekarang.. Kau
tempati kamar yang disana saja. Aku pergi!,” Sungmin menunjuk ke arah kamar di
sebelah kanannya lalu langsung berlari keluar apartemen. Sepertinya hyungnya
harus pergi menyelamatkan nyawa seseorang yang kritis. Sandeul hanya menatap
bingung ke arah pintu apartemen mewah yang sudah tertutp rapat lalu mengalihkan
pandangannya menuju kamar yang tadi ditunjuk Sungmin dan mulai memasukinya.
~ ~ ~ ~ ~
“Kau datang?,” CNU menyambut kedatangan Sandeul dengan
senyumnya di balik meja kasir.
“Ne..”
“Kau pindah ya? Dari kemarin kau datang dari lain arah..,”
Jinyoung bertanya sambil mengambil minuman dan melatakkannya di nampan yang
dipegangnya.
“Ah~ aku belum membertahu kalian ya? Seminggu yang lalu aku
pindah ke apartemen Sungmin hyung,” Sandeul menjawabnya sambil berjalan menuju
ruang ganti.
“Sandeul-ah~ Sungmin hyung itu dokter ya? Kemarin aku
bertemu dengannya di rumah sakit dengan.. appanya Gongchan,” Baro tiba-tiba
berdiri menghalangi jalan Sandeul.
“Appanya Gongchan? Gong Hyukmin?,” Sandeul mengerutkan
alisnya.
“Ne.. tapi ajussi itu duduk di kursi roda. Sepertinya dia
pasiennya Sungmin hyung..,” Sandeul mengangguk mengerti. Jadi panggilan darurat
operasi yang diterima hyungnya seminggu yang lalu itu untuk appanya Gongchan?
“Sandeul-ah.. kau sudah berdamai dengan ajussi?”
“Sudah.. tidak ada masalah apapun lagi..,” Baro pergi sambil
menganggukkan kepalanya sedikit.
“Sepertinya,” Sandeul bergumam pelan. Dia masih tidak yakin
ajussi itu sudah berhenti mengusik hidupnya.
~ ~ ~ ~ ~
Sungmin memasuki kamar Sandeul dan duduk di sebelah
dongsaengnya.
“Sandeul-ah.. boleh aku bertanya sesuatu?,” Sungmin bertanya
hati-hati.
“Tentu saja,” Sandeul terus duduk sambil memperhatikan
hyungnya.
“Boleh aku bertanya masalahmu dengan Gongchan? Atau..
keluarganya?”
“Gongchan? Bagaimana kau tahu aku ada masalah dengan
keluarganya?,” Sandeul menatap bingung hyungnya.
“Sudah kubilang aku tahu kejadian yang akan datang, apa
masalahmu?”
“Gongchan.. sebenarnya dia adik tiri kita. Karena ekonomi
keluarga kritis saat aku lahir, eomma menikah dengan appanya. Saat appanya tahu
kalau eomma hanya mempermainkannya, appanya Gongchan marah karena eomma kabur
setelah melahirkan Gongchan,” Sungmin menatap tidak percaya pada Sandeul.
Eommanya sampai berbuat seperti itu hanya untuk keluarga mereka?
“Begitu ya.. Aku keluar dulu ya. Jangan tidur terlalu
malam,” Sungmin tersenyum lalu pergi keluar meninggalkan Sandeul. Entah kenapa
dia ingin melihat wajah appanya Gongchan. Apa yang membunuh dongsaengnya
tanggal 27 Juli itu appanya Gongchan karena dendam? Saat pikirannya sibuk
memikirkan hal itu, dia dapat telepon lagi, dari rumah sakit. Biasanya ajussi
pasien itu keadaannya kritis kalau rumah sakit sampai menelepon dengan tanda
darurat seperti itu.
“Ini aku”
“Mwo?!”
“Arasseo.. aku akan kesana sekarang”
Benar dugaannya, ajussi yang sudah menjadi pasiennya selama
2 minggu terakhir itu drop lagi. Jantung buatan yang sudah berumur 5 tahun itu
sudah habis masa waktunya.
~ ~ ~ ~ ~
“Appa..,” Gongchan memanggil appanya yang masih terbaring
lemah di rumah sakit.
“Kenapa kau disini? Kau satu-satunya harapanku untuk
perusahaan dan Minwoo. Pulanglah..,” ajussi itu menjawab dingin, sama dengan
tatapan anaknya yang dingin.
“Appa. Aku tidak bisa lagi..”
“M..mwo?”
“Aku.. tidak bisa berpura-pura lagi untuk tidak mengenalnya.
Biar bagaimanapun dia itu hyungku. Appa.. jeongmal mianhae,” Gongchan
menundukkan kepalanya, merasa bersalah mengatakan hal ini dalam keadaan ayahnya
yang seperti sekarang.
“Appa hanya melakukan yang terbaik. Appa benar-benar tidak
bisa melupakan dendam appa,” Appanya Gongchan hanya menatap tajam ke arah
Gongchan.
“Appa.. Tapi aku benar-benar tidak bisa.. Sandeul hyung
benar-benar dekat denganku,” Gongchan masih menundukkan kepalanya.
“Lebih baik kau pergi sekarang dan pikirkan keputusanmu itu.
Bukankah kau sendiri yang meminta kesempatan hidup untuk bocah itu?,” Appanya
Gongchan hanya menahan amarahnya. Entah apa yang membuatnya benar-benar dendam
dengan keluarga Lee. Gongchan hanya berjalan keluar dari kamar itu. dia masih
ingat persis perjanjiannya dengan appanya. Perjanjian yang mempertaruhkan nyawa
hyungnya itu.
“Ah.. jweoseonghamnida,” saat Gongchan membuka pintu, dia
hampir bertabrakan dengan seorang dokter yang akan masuk ke ruangan appanya.
“Jweseonghamnida,” dokter itu juga sedikit membungkukkan
tubuhnya, meminta maaf. Gongchan sempat kaget saat melihat wajah dokter itu.
Benar-benar mirip dengan Sandeul. Apa dokter itu yang mengurus appanya? Gongchan
memutuskan untuk pulang, biar bagaimanapun lebih baik dia tetap dengan
aktingnya dan Sandeul hidup dengan tenang. Mungkin itu yang terbaik.
“Anakmu?,” dokter muda itu bertanya saat pintu sudah
tertutup rapat. Ajussi yang ditanya hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan
dokternya.
“Kalau sakit akan ku ambilkan obat. Sakit tidak?,” dokter
yang sudah mengurus ajussi 3 minggu terakhir ini bersiap berjalan keluar,
mengambil obat bius.
“Tidak usah. Aku sudah tua, tidak terlalu sakit,” ajussi itu
menjawab sambil sedikit bercanda.
“Ajussi.. Ada hal yang ingin kau lakukan? Maksudku sebelum
kau.. ehm,” dokter itu merasa sedikit tidak enak menanyakan dengan jelas. Tapi
ini harus dilakukan setiap dokter pada pasiennya yang sudah kritis.
“Entahlah.. mungkin aku akan masuk neraka. Tapi aku masih sangat
dendam dengan wanita itu. Wanita itu menghianatiku dan anak itu dekat dengan
anakku. Aku benar-benar ingin menghilangkan anak itu dari bumi,” dokter itu
sedikit terkejut dengan perkataan pasiennya, entah kenapa tiba-tiba dia
teringat dengan cerita dongsaengnya seminggu yang lalu.
“Ah~ kau.. punya dendam? Boleh kutahu siapa nama anakmu? Dia
sangat tampan. Mirip denganmu,” doter itu masih berusaha tersenyum, menutupi
kepanikan yang ada di otaknya.
“Benarkah? Namanya Gongchan.. Gong Chansik,” Sungmin sedikit
terkejut mendengarnya. Jadi selama ini dia merawat orang yang membunuh adiknya
sendiri? Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?
“Ah~ nama yang bagus..,” Sungmin tersenyum pada ajussi itu.
“Ajussi istirahatlah. Aku keluar dulu, kalau ada apa-apa
panggil saja,” Sungmin menunduk singkat lalu beranjak dari ruang serba putih
itu.
“Sandeul-ah.. mianhae, jeongmal mianhae,” Sungmin bergumam
pelan sambil berjalan memasuki ruangannya.
~ ~ ~ ~ ~
Sungmin berlari menuju ruang operasi. Ajussi itu sudah
semakin kritis. Entah bagaimana lagi menyelamatkan nyawanya, otak pintarnya
masih berkutat memikirkan hal itu. Akhirnya dia sampai di ruang operasi dan
langsung memulai operasi.
4 jam sudah terlewati, melebihi waktu operasi yang
seharusnya hanya 3 jam. Gongchan yang menunggu diluar tertidur dengan pulas di
kursi.
“Tidak bisa.. Dokter, ini sudah tidak ada harapan sama
sekali,” asistennya bersiap menyerah melihat garis lurus yang tetap ada di
layar, mereka semua sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi kehendak Tuhan
berkata lain. Ajussi yang sudah menjadi pasiennya selama sebulan ini sudah
tidak bisa diselamatkan.
“Andwae.. ajussi.. jebal..,” baru kali ini Sungmin
kehilangan nyawa pasiennya. Biarpun ajussi ini pembunuh adiknya, ajussi ini
tetap pasiennya. Dan dia sudah bersumpah menyembuhkan semua pasiennya tanpa
membawa masalah pribadinya. Dia teringat pembicaraannya dengan ajussi itu
semalam.
Flashback..
“Ajussi..
gwaenchana?,” dokter itu memasuki kamar pasiennya setelah melihat hasil
pemeriksaan yang menunjukkan keadaan ajussi itu semakin kritis.
“Gwaenchana. Lagipula
aku ingin cepat pergi dari sini..”
“Ajussi. Jangan bicara
begitu.. anakmu masih membutuhkanmu..,” Sungmin mendekatkan kursinya ke tempat
tidur ajussi itu.
“Tentang dendam yang
kau beritahuku seminggu yang lalu.. itu dendam dengan keluarga Lee?,” Sungmin
bertanya dengan ragu.
“Ne. Bagaimana kau
tahu?,” ajussi itu memandang Sungmin heran.
“Aku.. Lee Sungmin,
hyung kandung Lee Sandeul,” Sungmin tersenyum pelan.
“Mwo?!,” ajussi itu
terlihat terkejut.
“Kau bisa melepas
dendam itu? Biar bagaimanapun Sandeul tidak bersalah”
“Aku.. tidak bisa. Dia
dekat dengan Gongchan.. aku tidak bisa membiarkannya masuk ke kehidupan kami
lagi. Mianhae, Sungmin-ssi,” ajussi itu menjawab dengan tenang.
“Baiklah. Lupakan
pembicaraan barusan, disini aku dokter dan aku sudah bersumpah untuk
menyembuhkan semua pasienku tanpa membawa masalah pribadiku. Aku permisi dulu,”
Sungmin tersenyum lalu beranjak keluar dari ruangan itu.
Flashback end..
“Hari ini, 26 Juli 2014, pukul 22.16 Gong Hyukmin pergi..,”
perkataan asistennya membuatnya tersadar.
“Mwo?! 26 Juli?!,” Sungmin yang masih terkejut mendengar
tanggal hari ini langsung melihat jam, 22.16.. Sandeul.. Dongsaengnya.. kecelakaannya
malam kan? Asistennya mengangguk bingung, Sungmin langsung melepas pakaian
operasi dan memberikannya pada salah satu suster, sekarang semua orang
memandang bingung ke arahnya.
“Dokter.. pengumuman..,” asistennya memanggilnya lagi.
“Kau saja yang beritahu Gongchan!!,” setelah berkata begitu,
Sungmin langsung berlari keluar rumah sakit.
“Pabo! Bagaimana kau lupa hari penting seperti ini!! Lee
Sungmin pabo!!,” Sungmin terus berlari menuju daerah kecelakaan dongsaengnya.
“Sandeul-ah.. jebal.. jebal..,” Sungmin terus bergumam
sepanjang perjalanannya. Setelah 5 menit, akhirnya dia sampai di tempat itu.
Tepat dugaannya, Sandeul ada disana, sekitar 10 meter dibelakangnya sebuah
mobil melaju dengan kencang. Sungmin yang melihat hal itu langsung berlari
secepat mungkin dan menarik tangan Sandeul lalu memeluknya. Sungmin melihat
namja itu, wajah namja itu.. anak buah Gong Hyukmin yang pernah dilihatnya di
rumah sakit. Sandeul yang menyadari nafas hyungnya yang tidak beraturan
ditambah jas dokter yang masih digunakan namja itu hanya menghela napas. Entah
apa yang akan terjadi kalau hyungnya tidak datang sekarang.
“Hyung..,” Sandeul yang masih bingung hanya bergumam pelan.
Sedangkan Sungmin tersenyum senang.
“Sandeul-ah.. misiku berhasil. Kau selamat, Lee Sandeul..,”
Sungmin bicara sambil sesekali mengatur napasnya lalu melepas pelukannya dan
menatap senang dongsaengnya.
“Hyung..”
“Gwaenchana?,” Sungmin membolak-balikkan tubuh dongsaengnya.
“G..gwaenchana,” Sandeul yang masih mencerna kejadian
barusan hanya mengangguk ragu.
“Eomma.. appa.. aku berhasil,” gumam Sungmin pelan sambil
terus tersenyum. Setidaknya pengorbanannya yang berlari 4 km dalam 10 menit
tidak sia-sia.
“Hyung.. aku.. masih tidak mengerti,” Sandeul menatap
bingung hyungnya.
“Kajja. Aku meninggalkan pekerjaanku untuk berlari kesini.
Akan kujelaskan di perjalanan,” Sungmin mengajak Sandeul ke rumah sakit.
Sandeul mengikutinya dengan ragu.
“Aku.. kembali dari tanggal 27 Juli ke 27 Juni..,” Sungmin
memecah keheningan diantara mereka. Sandeul menatap ke arahnya, meminta
penjelasan lebih lanjut.
“Maaf saja, tapi.. tanggal 27 Juli dulu kau ditemukan
meninggal karena kecelakaan yang diduga kasus pembunuhan,” Sandeul menatap
tidak percaya pada hyungnya.
“Saat aku mendengarnya, aku benar-benar merasa bersalah dan
tidak berguna. Tapi, tiba-tiba saat sore aku pergi ke kafe dan menemukanmu
sedang membuang sampah. Kau ingat?,” Sandeul mengangguk ragu menjawabnya.
“Kupikir aku bermimpi atau menghayal. Saat aku melihat
tanggal pada kalendar kafe CNU, kukira kalendarnya tidak pernah dibalik dan aku
menyuruh Baro. Tapi setelah itu aku menemukan tiket pesawatku. Semenjak itu aku
tahu kalau aku kembali ke masa lalu, mungkin untuk mengubah takdirmu, seperti
di drama God’s Gift ya..? Aku tahu ini tidak masuk akal, malah sangat tidak
masuk akal. Tapi ini benar-benar terjadi padaku,” Sungmin menghela napas berat.
Mungkin Sandeul mengiranya gila mengatakan hal ini.
“Gumawo,” Sandeul menjawabnya pelan, Sungmin mendongakkan
kepalanya ke arah Sandeul.
“Gumawo sudah kembali dan menyelamatkanku,” Sandeul
melanjutkan perkataannya sambil tersenyum ke arah Sungmin.
“Kau percaya..?,” Sungmin menatap Sandeul tidak percaya.
“Apa ada yang tidak mungkin? Tentu saja aku percaya..,”
Sandeul menatap balik hyungnya yang tersenyum ke arahnya.
“Kau baru pulang?,” Sungmin yang melihat Sandeul masih
lengkap dengan seragamnya menatap bingung ke arah dongsaengnya itu. Setahunya
Sandeul tidak suka pulang malam dari sekolah.
“Ne.. tadi ada acara..,” Sandeul menjawab sambil membenarkan
posisi tas ranselnya.
~ ~ ~ ~ ~
Gongchan yang baru mendengar kabar appanya meninggal masih
berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun.
“Gongchan-ssi.. kau mau melihat appamu untuk yang terakhir
kalinya?,” asisten dokter itu kembali menanyakan hal yang sama seperti setengah
jam yang lalu. Sedangkan Gongchan, namja yang ditanya masih tetap memandang
kosong ke arah lantai yang dipijaknya. Tidak ada rasa lelah sama sekali, tidak
ada rasa pegal sama sekali. Dia hanya merasa kosong.. appanya sudah pergi..
eommanya juga sudah pergi. Seperti inikah yang dirasakan Sandeul saat kedua
orangtuanya dibunuh tepat dihadapannya?
“Gongchan-ssi..,” tiba-tiba Sungmin datang dengan Sandeul
dibelakangnya.
“Gongchan-ah..,” Sandeul yang juga datang bersama Sungmin
langsung menghampiri Gongchan dan memeluknya.
“Chan-ah.. menangislah kalau kau mau menangis..,” Sandeul
melepas pelukannya, dia teringat saat orangtuanya meninggal dulu.
“Sandeul hyung.. mianhae.. jeongmal mianhae,” Gongchan
bergumam pelan.
“Gwaenchana.. Chan-ah.. kau tidak mau melihat appamu? Kajja,”
Sandeul langsung menarik tangan Gongchan memasuki ruangan itu.
“Dokter Lee..! Kau darimana saja?,” asisten dokter itu
protes saat Sungmin tiba-tiba berlari dan meninggalkannya untuk memberitahu
kabar buruk pada anak pasien.
“Mian, aku pergi menyelamatkan nyawa dongsaengku,” Sungmin
menjawab dengan enteng.
“Dongsaengmu?,” asisten itu menunjuk ke arah ruangan itu,
bertanya anak yang barusan memeluk Gongchan itu dongsaengnya?
“Ne.. Namanya Sandeul,” Sungmin menjawab sambil duduk di
salah satu kursi.
“Pantas mirip sekali denganmu.. Ah ne, jangan lupa masih ada
pasien lain,” asisten dokter itu pergi meninggalkan Sungmin yang lebih memilih
beristirahat disini.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung.. mianhae,” Gongchan bergumam pelan saat mereka
keluar dari kamar appanya yang sudah meninggal beberapa jam yang lalu.
“Hm? Tentang amnesiamu itu? Gwaenchana.. aku sudah
menduganya,” Sandeul menjawabnya sambil terus menatap lurus ke ujung koridor
rumah sakit ini.
“Appa menjadikan itu persyaratan agar kau tetap hidup,”
suara Gongchan sedikit bergetar, dan Sandeul menyadari akan hal itu.
“Arasseo. Tidak usah kau jelaskan.. aku sudah mengerti,”
Sandeul menjawabnya sambil terus menatap lurus, entah apa yang dilihatnya.
“Kupikir.. aku akan bisa melakukannya sampai bertahun-tahun.
Nyatanya.. baru beberapa minggu sudah tidak kuat. Dan appa terus memaksaku
melakukannya.. mianhae, hyung,” Gongchan masih terus melanjutkan perkataannya
dan hal itu membuat Sandeul menghela napas keras.
“Geumanhae, Chan-ah..,” Sandeul bergumam pelan sambil
memasukkan tangannya pada jas sekolahnya. Kali ini Gongchan mendengarkannya,
dia sudah berhenti mengoceh.
“Hyung.. orang yang tadi bersamamu, bagaimana kau tahu kalau
itu dokter yang merawat appa selama sebulan ini?,” Gongchan teringat namja yang
datang bersama Sandeul beberapa menit yang lalu. Sandeul kaget dan menatap
Gongchan bingung.
“Apa maksudmu? Dokter appamu? Nugu? Sungmin hyung?,” Sandeul
menatap tidak percaya ke arah Gongchan yang mengangguk ragu.
~ ~ ~ ~ ~
Sungmin yang baru selesai dengan semua pasiennya, berencana
pulang ke apartemennya secepatnya. Dia tidak menyangka akan pulang selarut ini,
seharusnya dia memilih sift malam saja hari ini, berhubung misinya yang sudah
berhasil, sangat berhasil malah. Sungmin terus berjalan menyusuri lorong rumah
sakit yang sudah mulai sepi sambil membawa tasnya dan sesekali melihat
sekeliling. Satu kata untuk namja ini, bodoh.. apa dongsaengnya masih
menunggunya setelah 4 jam berlalu? Terlebih hanya sekedar untuk pulang ke
apartemen bersama. Padalah tadi sudah ada Gongchan yang kemungkinan besar
pulang bersama Sandeul. Tapi, tiba-tiba langkah namja ini berhenti, di ujung
sana ada seorang anak yang dicarinya dari tadi. Sungmin menatap tidak percaya
ke arah Sandeul yang sudah tertidur pulas di salah satu kursi di ujung lorong.
Bocah ini masih menunggunya.
“Sandeul-ah,” Sungmin berjalan pelan mendekati dongsaengnya
yang masih tidak bergerak.
“Lee Sandeul,” kali ini dia mengeraskan suaranya saat sudah
berdiri tepat di depan dongsaengnya.
“Oh?,” Sandeul yang baru terbangun langsung berdiri dan
menatap hyungnya bingung.
“Ah.. kau sudah selesai, hyung?,” namja itu melanjutkan
perkataannya sambil berdiri, menatap hyungnya dengan mata merahnya sambil
setengah sadar, terlihat jelas namja ini masih sangat mengantuk dan ingin tidur
biarpun sambil berjalan.
“Kau masih menungguku?,” Sungmin tersenyum lega sekaligus
kawatir menatap dongsaengnya.
“Ayo pulang,” hanya itu yang keluar dari mulut Sandeul dan
berjalan mendahului Sungmin yang menatapnya heran. Tidak biasanya anak itu
seperti ini.
Sedangkan selama perjalanan menuju apartemen mereka yang
hanya berjarak beberapa bangunan Sandeul tetap diam, sekalipun Sungmin
mengajaknya bicara, Sandeul hanya tersenyum sebentar dan menjawab dengan
mengangguk atau menggeleng. Hanya itu.
“Wae geurae? Kau sakit?,” ini sudah ketiga kalinya Sungmin
bertanya hal itu pada Sandeul dan respon Sandeul sama, tersenyum lalu
menggeleng pelan. Sungmin hanya menghela napas, sedikit bingung dengan
Dongsaengnya. Kalau hanya karena faktor mengantuk, seharusnya dari kemarin dia
seperti ini.
“Kau kenapa? Ada masalah?,” Sungmin menatap lurus kedepan,
menatap bangunan yang berjarak kurang lebih 100m dari hadapannya. Sandeul pun
hanya menggeleng pelan dan berjalan cepat, menandakan dia hanya ingin ke
apartemen sekarang, istirahat dan mungkin menghindari Sungmin sementara waktu.
Sungmin mengerutkan dahinya, merasa asing dengan sifat Sandeul yang seperti
ini. Tiba-tiba terlintas di pikirannya, appanya Gongchan, Gong Hyukmin. Apa
Sandeul sudah tahu kalau Gong Hyukmin itu pasiennya? Lalu kenapa Sandeul
seperti itu? Apa ada masalah kalau Gong Hyukmin itu pasiennya? Sungmin
mempercepat langkahnya, menjajarkan posisinya dengan Sandeul yang sudah
beberapa langkah didepannya.
~ ~ ~ ~ ~
Sungmin duduk di pinggir tempat tidurnya. Satu jam lagi
pukul lima pagi, dia benar-benar tidak bisa tidur hari ini. Apalagi setelah
pulang dari rumah sakit pukul 3 pagi, berarti sudah satu jam dia hanya
tidur-tiduran di kasurnya. Pikirannya melayang ke 10 tahun yang lalu. Dia
bohong kalau belum pernah menemui orangtuanya setelah pergi ke Jepang.
Kebohongan besar yang ingin selalu ditutupinya, terutama dari Sandeul.
Sungmin memutar lagi otaknya. Dia yakin pernah memberitahu
seseorang cerita ini, dan yang membuatnya sedikit tenang adalah.. dia yakin
orang itu bukan Sandeul. Setelah lama berkutat dengan otak pintarnya, Sungmin
menghela napas kesal. Dia masih belum berhasil mengingat siapa orang itu. Dia
hanya berharap orang itu belum memberi tahu dongsaengnya apapun.
“Appa.. eomma.. mianhae,” gumam Sungmin pelan.
To Be Continue
[FF] Stay Away - Part 8
Author :
Park Je Won
Title :
Stay Away
Main Cast :
B1A4, Sungmin Suju
Other Cast :
You can find.. :D
Legth :
Part
Genre :
Friendship, Family, Brothership
Note :
Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan
otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini
asli milik author.
Part 8 : Someone Come Now..
“Sandeul-ah.. kajja,” Baro membuyarkan lamunan Sandeul dan
menariknya mengikuti Jinyoung dan CNU dari belakang.
“Gongchan-ah..!,” Jinyoung memanggil Gongchan yang sudah
berjarak 5 meter dihadapannya, namja itu berbalik menatap Jinyoung datar.
“Gongchan-ah.. kau tidak mengingat kami?,” CNU mendekat ke
sebelah Jinyoung.
“Ani. Aku pergi,” Gongchan berbalik dengan wajah datar.
“Ya! Gong Chansik!!,” kali ini suara Baro yang terdengar,
Gongchan membalikkan lagi tubuhnya menatap malas ke arah mereka.
“Kenapa banyak sekali orang yang mengenalku dulu.
Menyusahkan saja,” Gongchan berbalik sambil bergumam kesal, meninggalkan 4 orang
namja yang masih menatapnya bingung.
“Kurasa dia memang amnesia. Dia melihat semua papan nama
teman sekelas, sampai Kim Sonsaengnim,” Baro memecah keheningan diantara
mereka.
“Benarkah? Bagaimana bisa..?,” Jinyoung bergumam sambil
memperhatikan jam tangannya.
“Kau ada janji?,” CNU yang daritadi melihat Jinyoung
memperhatikan jam tangan memandang Jinyoung aneh.
“Jinhee noona menerima tawaran kencanku,” Jinyoung tersenyum
senang.
“Jinjja? Cepat pulang sana!,” Baro mendorong Jinyoung.
“Aku duluan, ne?,” Jinyoung melambaikan tangannya sambil
berlari menuju rumahnya.
“Annyeong~”
~ ~ ~ ~ ~
“Lee Sandeul..,” seorang namja memanggil Sandeul yang sedang
berjalan keluar kafe, berniat membuang sampah di tempat sampah luar kafe.
Sandeul membalikkan tubuhnya dan menatap bingung namja di depannya, namja yang
mirip dengannya.
“Nuguseyo..?”
“Mwoya? Apa yang kau lakukan disini?,” namja itu terlihat
tidak percaya saat melihat Sandeul.
“Jogiyo.. Nuguseyo?,” Sandeul masih menatap aneh namja itu.
“Aku mau bicara denganmu,” namja itu menarik Sandeul kedalam
kafe dan duduk di salah satu meja yang kosong. Namja itu menatap sekeliling,
pandangannya berhenti saat menatap kalender yang bertuliskan 27 Juni 2014.
“Ck.. tanggal berapa sekarang.. kalender aneh,” namja itu
bergumam pelan sedangkan Sandeul menatap
aneh namja di depannya lalu berdiri dengan kesal, namja itu langsung
mengalihkan pandangannya ke arah Sandeul.
“Odiga?,” tanyanya sambil menatap polos ke arah Sandeul
sedangkan Sandeul menatapnya kesal.
“Sepertinya kau salah orang. Aku masih banyak kerjaan. Kalau
mau pesan panggil pelayan,” Sandeul berbalik lalu berjalan menuju dapur.
Sedangkan namja itu memperhatikan Sandeul.
“Dia benar-benar Sandeul..,” namja itu bergumam tidak
percaya lalu memesan kopi pada Baro.
“Baro-ya.. Apa Sandeul sakit?,” namja itu bertanya sambil
mengembalikan buku menu ke arah Baro. Baro menatapnya bingung, bukannya ini
pertemuan pertama dengan namja ini? Kenapa sepertinya namja ini sudah kenal
dekat dengannya?
“Ne? Nuguseyo?,” Baro agak menunduk.
“Ck.. aigoo~. Sudahlah.. lupakan. Benarkan saja kalender di
kafe ini. Aigoo~,” namja itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi
sedangkan Baro menatap ke arah kalender itu lalu bergantian ke arah jam
tangannya. Tidak ada yang salah, namja ini gila ya? Baro menunduk singkat lalu
langsung berjalan ke arah kasir, memberikan pesanan pada CNU yang sedang
melayani pembeli.
“Hyung.. kau mengenal orang itu?,” Baro bertanya saat
pelanggan itu sudah pergi. CNU menoleh ke arah yang ditunjuk dengan mata Baro.
“Ani.. wae?,” CNU menatap bingung ke arah Baro.
“Dia seperti kenal dekat denganku lalu dia juga menyuruhku
membenarkan kalender di kafe ini. Apa dia gila?,” Baro menatap ngeri ke arah
CNU.
“Entahlah.. lihat saja nanti..,” CNU memberikan pesanan pada
Sandeul dari jendela kecil yang menghubungkan dengan dapur. Sementara itu namja
itu masih berpikir keras.
“Sepertinya aku pernah mengalami kejadian ini..,” namja itu
masih memutar otaknya lalu HP yang berada di dalam sakunya itu bergetar,
menandakan ada pesan masuk. Namja itu merogoh sakunya dan mendapatkan benda
hitam itu lalu menariknya keluar, mengecek pesan yang masuk. Namja itu
mengerutkan dahinya ssat membaca pesan itu. sekali lagi dia merasa pernah
membaca pesan seperti ini, dan saat namja itu melihat tanggal masuk pesan ini,
‘27 Juni 2014’.
“27 Juni..?,” gumam namja itu pelan lalu merogoh saku
kirinya dan menarik secarik kertas yang ada disana. Namja itu semakin bingung
saat menemukan sebuah potongan tiket pesawat yang seingatnya sudah mendarat di
tempat sampah apartemennya beberapa hari yang lalu.
Namja itu masih menatap bingung tiket bertuliskan tangan 27
Juni 2014 itu, sedetik kemudian namja itu mendongak, dia ingat ini hari apa dan
kapan dia mengalami semua kejadian ini. Tepat sebulan yang lalu, saat tanggal
27 Juni. Dan dia ingat, tanggal terakhir yang dialaminya, 27 Juli tepat sebulan
kemudian. Apa mungkin dia kembali ke sebulan yang lalu? Bagaimana mungkin? Dia
hampir saja tidak percaya saat melihat Jinyoung menabrak seorang pelanggan
sampai menumpahkan kopi pada baju ajussi itu, persis dengan sebulan yang lalu.
“Jweoseonghamnida.. jweoseonghamnida..,” Jinyoung menunduk
berkali-kali, beruntung itu kopi dingin, bukan panas.
“Aigoo~ kau ini bagaimana..! Lain kali hati-hati..!,” ajussi
itu berdiri lalu kembali ke tempat duduknya dan mengambil baju dari dalam
tasnya.
“Maldo andwae..,” gumam namja itu pelan sambil melihat
sekeliling kafe. Namja itu langsung berdiri dan berjalan menuju keluar kafe, ke
rumahnya dulu.
Beberapa menit menaiki taksi, dia sudah sampai di depan
rumah yang terlihat tak terurus itu. dan benar saja, kopernya masih ada di
depan pintu, tempat yang dia ingat 1 bulan yang lalu. Namja itu menyeret
kopernya dan berjalan menuju ke tempat tinggal Sandeul. Dia masih ingat saat
mengajak Sandeul pindah dari one-room super kecil itu yang mungkin belum pernah
dialami Sandeul yang sekarang.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung.. aku pulang dulu ya.. gumawo,” Sandeul mengambil
uang gajinya hari ini dan berjalan menuju pintu keluar, dia berniat istirahat
hari ini. Entah kenapa dia malas ke supermarket hari ini.
Saat sudah ada di depan pintu rumahnya, langkahnya berhenti
saat melihat namja itu berdiri di samping pintunya.
“Annyeong.. Aku Lee Sungmin, hyungmu,” namja itu membungkuk
sedikit ke arah Sandeul. Sandeul hanya menatap bingung ke arahnya.
“Ne..?,” sekarang Sandeul ingat, perkataan sepupunya itu
yang berkata bahwa dia masih punya hyungnya yang dulu pergi.
“Boleh aku masuk?,” Sungmin menunjuk ke arah pintu yang
tepat berada disampingnya.
“Bagaimana aku tau kau benar-benar hyung atau bukan?,”
Sandeul menatap aneh namja didepannya. Sungmin mengambil sebuah amplop dari
dalam tasnya dan memberikannya pada Sandeul.
“Ige mwoya?,” Sandeul menerima dengan ragu, Sungmin memberi
kode untuk membukanya. Sandeul membuka dan membaca kertas itu, hasil tes DNA
yang menunjukkan anak kandung appa dan eommanya. Jadi namja ini benar-benar
kakak kandungnya? Sandeul menatap namja itu datar lalu bergantian menatap
kopernya.
“Dari mana?,” Sandeul menatap koper-koper itu bingung.
“Waktu kecil aku pindah ke Jepang dan diurus sahabat appa
disana karena kurang biaya. Sekarang aku memutuskan kembali ke Korea setelah
mendengar appa dan eomma meninggal..,” Sungmin menerima lagi amplop yang dikembalikan
padanya dan memasukkannya ke dalam tas.
“Aku belum sempat mencari tempat tinggal, aku boleh masuk
kan?,” Sungmin tersenyum lebar pada Sandeul sedangkan Sandeul mengangguk dan
tersenyum ragu. Dia masih tidak percaya hyungnya yang belum pernah dilihatnya
itu tiba-tiba muncul. Sebenarnya Sungmin sendiri sengaja tidak menyewa
apartemen, berharap dia bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada
dongsaengnya. Sandeul membuka pintu dan masuk, diikuti hyungnya dari belakang
lalu menutup pintu lagi.
Sandeul langsung mengambil salah satu bajunya dan masuk ke
kamar mandi sedangkan Sungmin hanya menatapnya bingung lalu duduk di pojok
ruangan. Dia masih ingat, sebulan yang lalu dia berjalan memutar one-room ini
dan membuka-buka lemari tapi sekarang kepalanya sibuk memikirkan bagaimana dia
harus menjelaskan agar tidak dikira gila oleh dongsaengnya. Tidak lama
kemudian, Saneul keluar dan berjalan ke arah Sungmin. Sungmin yang tidak
menyadarinya masih terus menatap kosong.
“Jogi..,” Sandeul memulai pembicaraan dengan ragu, sedangkan
Sungmin yang baru sadar namja itu sudah ada di depannya menjawab dengan
bingung.
“N..ne?”
“Appa.. tidak pernah cerita sama sekali kalau aku punya
hyung. Kupikir aku anak tunggal. Darimana kau tau kalau kau punya dongsaeng..?,”
Sandeul bertanya ragu sambil duduk di depan Sungmin. Sungmin tersenyum, sama
persis dengan sebulan yang lalu.
“Tadinya aku marah dengan appa dan eomma yang tidak pernah
menghubungiku saat aku di Jepang. Tapi, tepat setengah tahun yang lalu.. appa
tiba-tiba menghubungiku dan setelah itu appa dan eomma juga tidak pernah
menghubungiku lagi. Kemarin sahabat appa yang merawatku selama ini dapat kabar
bahwa appa dan eomma meninggal ,
dia memberiku sebuah surat”
“Surat..?,” Sandeul menatap penasaran ke arah hyungnya itu.
“Ne..,” Sungmin merogoh saku jaketnya dan memberikan sebuah
kertas pada Sandeul.
‘Sungmin-ah..
Mianhae appa dan eomma terlalu malu untuk menghubungimu
setelah menitipkanmu begitu saja pada sahabat appa. Kami bahkan tidak pernah
berhubungan denganmu sama sekali, juga tidak pernah melihat fotomu saat dewasa.
Tapi, sahabat appa memaksa appa dan eomma untuk melihat fotomu. Kau benar-benar
tampan dan mirip dengan adikmu, kami bangga memiliki anak sepertimu.
Sungmin-ah.. mianhae baru memberitahu sekarang. Mungkin saat
kau membaca surat ini kami sudah tidak ada. Tapi.. kami menitipkan Sandeul
padamu. Dia adik kandungmu, biarpun kami tidak pernah memberitahunya kalau dia
punya hyung. Sungmin-ah.. kami tidak tahu harus bagaimana mengucapkan maaf dan
terimakasih pada sahabat appa.
Appa dan eommamu’
Sandeul menatap Sungmin tidak percaya, Sungmin hanya
tersenyum ke arahnya.
“Tadinya aku bingung bagaimana bisa menemukanmu. Ternyata
kau ada di kafe..,” Sandeul tidak merespon apapun, suasana mendadak hening.
“Kau sudah makan?,” Sandeul hanya menggeleng pelan
menjawabnya.
“Kajja,” Sungmin berdiri, menandakan dia mengajak Sandeul
berdiri dan mengikutinya.
Mereka makan di sebuah kedai ramen pinggir jalan, tempat
Sandeul pernah makan bersama Gongchan. Sungmin tetap berusaha mengingat
kejadian sebulan yang lalu, sebelum dia menyesali kematian namja yang sedang
makan bersamanya sekarang. Entah siapa yang dengan sengaja membunuh
namdongsaengnya ini. Yang dia ingat, tanggal 27 Juli namja ini ditemukan
meninggal setelah kecelakaan yang diduga kasus pembunuhan. Mungkin dia kembali
ke 1 bulan sebelumnya untuk mencari tahu siapa yang membunuh namja ini dan
mencegah hal itu. Tempat teriakhir yang diingatnya sebelum dia kembali ke masa
lalu ini adalah saat dia membuka pintu apartemennya, mungkin pintu itu
berfungsi membalikkan waktu.
Flashback..
Sungmin berjalan lemas
ke apartemennya setelah pulang dari rumah sakit. Dongsaengnya yang baru
ditemuinya selama sebulan ini meninggal kecelakaan dan itu membuatnya menyesal
tidak bisa menepati janji dengan kedua orang tuanya. Kalau ia bisa, ia ingin
membalikkan waktu, ia ingin menikmati lagi semua waktunya yang singkat dengan dongsaengnya,
waktu mereka berkumpul bersama sahabat Sandeul di kafe, waktu pertama kali
pertemuannya dengan Sandeul yang bisa dibilang tidak berjalan dengan lancar
karena sifatnya yang tidak terlalu terbuka pada orang baru, dan waktu ia
memaksa Sandeul tinggal bersamanya di apartemen.
Sesampainya di
apartemen, Sungmin hanya melihat sekeliling apartemen itu. Berharap namja yang
sudah pergi meninggalkannya berdiri di hadapannya sambil tersenyum, biarpun dia
tau itu sudah mustahil. Pada akhirnya, Sungmin hanya bisa berharap dan menghela
napas. Pikirannya benar-benar kacau hari ini. Sungmin duduk di salah satu sofa
dan menenggelamkan wajahnya dengan bantal. Selama di rumah sakit, dia mencoba
untuk tidak menangis dan dia tidak kuat untuk menahannya lagi. Semua keluarganya
sudah pergi meninggalkannya.
Saat Sungmin
terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dia tertidur di sofa ini selama
10 jam. Sungmin yang merasa perutnya sakit karena lapar memutuskan keluar
apartemen, dia berjalan melewati setiap kedai makanan, entah kakinya membawanya
kemana, dia hanya terus berjalan. Tiba-tiba dia berhenti di depan kafe. Kafe
ini.. tempat yang paling disukainya. Sungmin menatap bingung sahabat
dongsaengnya masih aktif bekerja disini, bukankah seharusnya mereka di rumah
sakit? Seingatnya tadi pagi dia disuruh pulang oleh CNU dan Jinyoung. Mereka
berjanji untuk terus di rumah sakit kan? Tiba-tiba pandangannya tertuju pada
seorang namja yang sedang membawa kantong sampah besar di luar kafe dan namja
itu berhasil membuatnya terbelalak kaget, bukankah itu Sandeul?
Flashback end..
“Hyung..,” Sandeul menatap bingung hyungnya yang melamun
sambil melambaikan tangannya di depan wajah hyungnya. Sungmin yang baru
tersadar langsung bingung.
“O..oh?”
“Kau tidak makan?”
“Ah.. ne,” Sungmin langsung memakan ramennya. Kapan ramen
ini datang? Dia tidak menyadarinya. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah
selesai makan dan berdiri, berjalan kembali ke one-room itu.
“Kau bisa taewondo?,” Sungmin memecah keheningan diantara
mereka.
“Ne..,” Sandeul menjawab sambil tersenyum tipis, teringat
saat appanya mengajarkannya dan sepupunya taewondo tingkat dasar lalu
dilanjutkan kursus taewondo karena keinginannya dalam bidang itu.
“Appa mengajarkanmu?”
“Ne..”
“Appa juga dulu pernah mengajarkanku.. tapi hanya tingkat
dasar. Jadi aku hanya bisa sedikit,” Sungmin juga tersenyum teringat appanya
mengajarkannya taekwondo dulu.
“Appa juga mengajarkanku tingkat dasar.. Karena aku
tertarik, appa membawaku ke tempat kursus..”
“Kalau begitu kau harus ajarkan aku tingkat selanjutnya..!,”
Sungmin menatap tidak terima ke arah Sandeul.
“Ne..?,” Sandeul hanya menatapnya bingung.
“Bercanda.. aku tidak terlalu tertarik dengan taekwondo. Aku
lebih tertarik dengan kedokteran..”
“Kau dokter..?,” Sandeul menatap tidak percaya ke arah
Sungmin. Sungmin menggeleng pelan.
“Iya.. kebetulan aku sudah pindah ke Korea jadi aku akan
melayani di rumah sakit di sekitar sini,” Sandeul mengangguk mengerti, entah
kenapa dia merasa sedikit beruntung memiliki seorang hyung Dokter. Entah apa
yang dilakukan Sungmin sampai bisa jadi dokter di usia semuda itu. Setelah itu
keheningan menyapa mereka lagi, Sungmin masih menunggu kehadiran Baro yang
sebentar lagi datang.. itupun menurut kejadian yang pernah dialaminya. Tidak
lama kemudian, seorang namja bertopi menghampiri Sandeul.
“Sandeul-ah..!”
“Baro-ya.. kenapa kau ada disini?,” Sandeul menatap namja
itu bingung. Sedangkan Baro yang baru menyadari keberadaan namja yang dikiranya
‘gila’ ada di sebelah sahabatnya.
“Aku.. mau mengajakmu ke kafe. Tapi.. kau kenal dengannya?,”
Baro menatap Sungmin dari atas sampai bawah, sedangkan Sandeul terlihat bingung
bagaimana menjelaskannya.
“Annyeong.. aku Lee Sungmin. Hyungnya Sandeul..,” Sungmin
mengulurkan tangannya pada Baro.
“Ah~ Annyeonghaseyo.. Baro imnida.. aku sahabatnya Sandeul,”
Baro menyambutnya ragu. Sejak kapan Sandeul punya hyung?
“Kau mau ikut?,” Baro bertanya pada Sungmin yang menjawabnya
dengan mengangguk pelan.
“Kajja,” mereka lalu berjalan ke arah kafe.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung.. mian..,” Gongchan bergumam lirih sambil
memperhatikan fotonya bersama 4 sahabatnya sambil berbaring di tempat tidurnya.
Sekarang dia harus berakting amnesia di depan mereka. Jujur, dia sangat
merindukan semua temannya, saat mereka bersama-sama rebutan game di rumah Baro,
saat kuenya yang gosong dimakan oleh semua hyungnya dengan alasan, ‘ini enak,
tinggal dipotong bagian atasnya dan jadi bagus’, dan saat mereka bersama-sama
menunggu Sandeul di rumah sakit.
“Bogoshippo.. hyung,” gumamnya lalu menaruh bingkai foto itu
dan mulai memejamkan matanya, berusaha tidur dan berharap bertemu hyungnya di
dalam mimpi.
~ ~ ~ ~ ~
“Wah~ kalian benar-benar mirip. Kenapa kau tidak pernah
bilang kau punya hyung?,” CNU yang memperhatikan Sungmin langsung memberikan
minuman sambil bertanya.
“Tadinya aku tidak tau kalau aku punya hyung. Kami baru
bertemu hari ini,” Sandeul menjawabnya sambil duduk di salah satu kursi kafe.
“Aku juga baru tahu kemarin kalau aku punya dongsaeng. Jadi
aku memutuskan ke Korea hari ini,” Sungmin menjelaskan kejadian yang sebenarnya
sudah dia alami sebulan yang lalu.
“Mian.. tapi, umur hyung berapa?,” Jinyoung yang merasa
tidak pernah melihat Jinyoung dari kecil bertanya sambil menatap Sungmin
bingung.
“21 tahun..,” semua orang mengerjap tidak percaya.
“Kupikir hyung 16 tahun..,” Baro yang masih tidak percaya
menatap heran ke wajah Sungmin yang memang seperti anak-anak itu, Sungmin hanya
tersenyum menanggapinya.
“Kafemu belum tutup? Bukannya ini sudah malam?,” Sungmin
menatap sekeliling kafe. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh
malam. Semuanya saling berpandangan. Kafe ini sudah tutup, tadinya mereka ingin
bertemu di ruang rahasianya CNU hanya untuk bermain bersama. Tapi mendapar SMS
dari Baro ada hyungnya Sandeul, CNU dan Jinyoung langsung keluar dan duduk di
salah satu pojok kafe dan menyalakan lagi lampunya.
“Kami sering bermain disini saat malam,” Jinyoung menjawab
ragu. Sungmin hanya tersenyum, dia sudah tahu jawabannya, sekali lagi, memori itu
menyapa ingatannya.
Flashback..
“Kafemu buka sampai
malam ya?,” Sungmin yang masih belum terbiasa dengan sahabat-sahabat Sandeul
tersenyum ragu mendapati kafe ini masih menyala terang.
“Kami sering bermain
disini saat malam,” Jinyoung membalasnya ragu, Sungmin tersenyum bingung. Apa
tidak takut terjadi hal yang tidak diinginkan?
“A..aku mau minum
sebentar,” Baro berjalan menuju dapur. Tanpa disengaja saat dia melewati
lukisan besar itu, kakinya terpeleset dan membuatnya jatuh ke arah lukisan itu.
Sekarang pintu itu terbuka lebar, membuat semua orang disana bisa melihat
ruangan terang berisi tangga didalamnya.
Flashback end..
“Maaf kalau aku lancang..,” Sungmin berdiri dari tempat duduknya
menuju ke sebuah lukisan besar. Semua orang menatap bingung ke arah Sungmin.
“Tapi aku bisa tau kejadian sebulan mendatang..,” Sungmin
mendorong lukisan itu, membuat 4 namja disana menatap Sungmin tidak percaya.
Ruangan terang yang lampunya tadi lupa dimatikan oleh CNU itu terbuka. Sungmin
berharap sifat kaku dulu saat bertemu dengan sahabatnya Sandeul yang menghambat
pertemanan mereka tidak terulang. Dia sudah lebih mengenal mereka, lebih mudah
untuknya mendekatkan diri dan mencari tahu masalah dongsaengnya yang
kemungkinan membuat dongsaengnya kecelakaan.
“Kau.. peramal..?!,” Baro yang masih tidak percaya
mengeluarkan kata-kata itu tanpa sadar.
“Ani.. Aku hanya tau beberapa hal dan hanya 1 bulan
mendatang,” Sungmin tersenyum pada mereka, perlahan mereka mendekat ke arah
Sungmin, kecuali CNU. CNU berjalan ke arah saklar dan mematikan lampu kafe,
tidak lupa menguncinya.
“Kajja,” CNU mengajak mereka masuk.
“Mian.. aku boleh ikut?,” Sungmin menunjuk dirinya, tidak
ingin terlihat lebih lancang dari yang tadi. Anggukan pasti dari CNU membuatnya
tersenyum lebar. Mereka mulai memasuki ruangan itu dan menutup lagi lukisannya
lalu berjalan menuruni tangga.
“Mian.. tadinya karena baru mengenalmu kami tidak membawa
kalian ke ruangan ini. Tapi, setelah lebih mengenalmu, Kurasa kau bukan orang
jahat.. Selamat datang di ruangan rahasia kami, hyung,” CNU tersenyum ke
arahnya dan Sungmin juga tersenyum. Senyuman yang langsung membuat CNU teringat
Sandeul. Mereka benar-benar mirip. Mereka sampai di depan pintu, CNU membukanya.
“Seleramu unik ya. Bagus..,” Sungmin yang sebenarnya sudah
tau ruangan itu berpura-pura terkejut.
“Kajja. Aku mau main,” Baro berjalan di depan, diikuti CNU,
Jinyoung, Sandeul, dan Sungmin. Baro langsung duduk di depan komputer, bersiap
bermain. Tapi tidak ada yang duduk di komputer sebelahnya, dia hanya memutuskan
bermain sendiri. Jinyoung dan CNU pergi ke dapur yang mungkin mencari cemilan.
Sandeul hanya memainkan ponselnya, sedangkan hyungnya duduk sambil berpikir,
menggali pikirannya sebulan yang lalu, mencoba menemukan petunjuk apapun itu,
berusaha mengingat nama seseorang yang menurutnya janggal.
Flashback..
Sungmin dan Baro yang
baru selesai bermain game bergabung ke CNU, Jinyoung, dan Sandeul yang duduk di
sofa sambil memakan cemilan.
“Siapa yang menang?,”
CNU bertanya sambil menyembunyikan bedak di belakang tubuhnya.
“Aku kalah..,” ucap
Baro sambil duduk di sofa yang kosong. CNU, Jinyoung, dan Baro saling
berpandangan lalu mengangguk. Baro yang tidak menyadari apapun hanya duduk sambil
bersandar.
“Mwoya?,” Baro yang
merasa aneh tiba-tiba mereka kecuali Sungmin mendekat ke arahnya langsung
menatap mereka bingung. CNU yang memegang bedak langsung membuat wajah Baro dipenuhi
bedak, Sandeul dan Jinyoung memegang tangn Baro dan pada akhirnya Baro hanya
bisa tersenyum, entah kenapa dia tidak bisa kesal dengan tingkah aneh
sahabatnya.
“Hahaha!,” mereka
semua hanya bisa tertawa melihatnya sedangkan Baro berjalan sambil tersenyum
menahan tawa ke arah toilet. Benar-benar orang ini, dan yang membuat Sungmin
tidak terlalu nyaman, dia tertutup pada orang baru. Tidak menyadari kalau
mereka juga tertutup pada orang baru, membuat sulit pertemanan yang sebenarnya
ingin dijalin. Setelah Baro keluar dari kamar mandi, mereka hanya mengobrol
biasa, seperti yang mereka lakukan beberapa hari yang lalu disini.
“Ah~ aku kangen
Channie,” Baro menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Kau benar. Tapi aku
tidak yakin dia benar-benar amnesia,” CNU ikut menyandarkan tubuhnya di sofa.
“Aigoo~ kalau dia
benar-benar amnesia. Sahabat macam apa kita ini..?,” Jinyoung memeluk bantal
yang baru direbutnya dari Baro yang sekarang mencibir kesal. Seharusnya CNU
menambah jumlah bantal disini. Sofanya ada 6 kenapa bantalnya cuma 3?
“Kau kuliah jurusan
apa hyung?,” Baro berusaha mengganti topik saat melihat Sungmin yang
kebingungan dengan apa yang mereka bicarakan.
“Kedokteran.. Tapi
boleh aku tanya siapa Channie?,” Sungmin menatap mereka satu per satu.
“Sahabat kami. Katanya
dia amnesia, namanya Gongchan, Gong Chansik,” Sandeul menjawabnya sambil
mengambil cemilan dan memakannya.
Flashback end..
Sungmin ingat sekarang. Gong Chansik.. nama ini yang
menurutnya janggal. Sungmin berjalan ke arah Baro dan duduk di komputer
sebelahnya lalu tersenyum ke arah Baro.
“Aku bosan. Boleh ikut?,” Sungmin langsung menyalakan
komputer saat Baro mengangguk antusias. Pendekatannya tidak sia-sia. Setelah
bermain beberapa kali, mereka bergabung ke 3 namja lainnya.
“Kau kalah ya?,” CNU menatap ke arah Baro yang mengangguk
sambil langsung duduk. Sedangkan Sungmin duduk di sebelah CNU. Sungmin
tersenyum penuh arti pada CNU, seakan tahu semua rencananya, CNU tersenyum
membalasnya sambil menuangkan bedak di tangan Sungmin selagi Baro tidak
melihat. Mereka mulai berjalan ke arah Baro. Sandeul dan Jinyoung memegang Baro
sedangkan CNU dan Sungmin melumuri wajahnya dengan bedak setelah itu mereka
semua tertawa puas, kecuali Baro yang hanya senyum senyum penuh arti.
“Hyung kau kejam sekali~,” Baro menatap Sungmin yang tertawa
puas.
“Mianhae~,” Sungmin menjawabnya asal sambil terus tertawa.
Baro berjalan menuju toliet, tidak lama kemudian keluar lagi dengan wajah yang
lebih bersihlalu duduk diantara Sandeul dan Jinyoung.
“Boleh aku tanya sesuatu pada kalian?,” Sungmin memulai
pembicaraan.
“Tentu saja. Kau mau bertanya apa, hyung?,” Baro yang duduk
berhadapan dengan Sungmin langsung bertanya balik.
“Aku cuma mau tanya, Gongchan itu siapa?,” semua orang
saling bertatapan, darimana Sungmin tahu nama itu? Terutama Sandeul, dia tidak
pernah menyebut nama Gongchan hari ini.
“Gong Chansik.. anak yang amnesia itu sebenarnya siapa?,”
Sungmin memperjelas pertanyaannya tapi membuat mereka tambah bingung. Orang ini
benar benar bisa meramal?
“Dia sahabat kami dulu. Tapi, semenjak dia amnesia, dia
tidak pernah lagi mau bermain dengan kami. Sifatnya berubah drastis..,”
Jinyoung menjelaskan dengan jelas.
“Dia satu kelas denganku dan Sandeul..,” Baro melanjutkan
perkataan Jinyoung.
“Kami bersahabat dengannya sejak 3 tahun yang lalu,” CNU
melanjutkan lagi sedangkan Sandeul tetap diam, tidak berniat memberitahu
apapun.
“Ah~ mian kalau kalian jadi harus membicarakannya karena
pertanyaanku..,” Sungmin tersenyum ragu.
“Ani.. gwaenchana. Sosialisasimu bagus, hyung. Aku merasa
seperti sudah kenal lama denganmu,” Baro tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya
di sandaran kursi. Tentu saja bagus, Sungmin sudah mengenal mereka sejak 1
bulan yang lalu.
“Gumawo,” Sungmin tersenyum ke arah Baro.
To Be Continue
Langganan:
Postingan (Atom)