Minggu, 27 Juli 2014

[FF] Stay Away - Part 10 (End)


Author                  : Park Je Won

Title                      : Stay Away

Main Cast           : B1A4, Sungmin Suju

Other Cast          : You can find.. :D

Legth                   : Part

Genre                  : Friendship, Family, Brothership

Note                    : Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini asli milik author.

Part 10 : The Final

Sungmin menatap lirih dinding dihadapannya. Menyesal akan perbuatannya 10 tahun yang lalu pada kedua orangtuanya.

Flashback..

Sungmin yang saat itu masih berumur 11 tahun, masih seorang anak yang sensitif dan tempramental. 5 tahun yang lalu appa dan eommanya mengirimnya ke Jepang dan menitipkannya pada seorang ajussi. Setelah itu tidak ada kabar sama sekali. Sungmin yang merasa ditelantarkan begitu saja oleh kedua orang tuanya marah dan kesal. Apalagi saat mengetahui surat-surat yang diberikan padanya atas nama ‘appa dan eomma’ adalah surat palsu yang ditulis oleh ajussi yang merawatnya.

Dan sekarang entah waktu yang sangat tidak tepat atau memang takdirnya, dua orang paruh baya yang duduk di depannya membuka paksa memori pahitnya 5 tahun yang lalu.

“Sungmin-ah.. Kau mau kembali Seoul lagi kan?,” Sungmin mendelik tajam ke arah orangtuanya.

“Ani. Aku ini orang jepang, bukan korea. Jangan pernah membawaku ke Seoul..,” Sungmin menjawab dengan dingin.

“Sungmin-ah.. kami benar-benar minta maaf atas kejadian 5 tahun yang lalu. Sungmin-ah.. kami datang untuk menjaemputmu, kami ingin mengajakmu kembali ke keluargamu dan hidup dengan bahagia, seperti dulu,” Sungmin masih menatap kedua orang itu kesal. Dia tidak mempercayai satupun perkataan ajussi dan ajumma didepannya.

“Nugu? Keluarga? Sebaiknya kalian pergi saja, aku tidak akan mengubah keputusanku sampai kapanpun. Bahkan ajussi jauh lebih baik daripada kalian. Aku permisi,” Sungmin langsung pergi memasuki kamarnya sambil membanting pintunya dengan keras, menahan emosi yang hampir meledak saat itu juga. Ajumma dan ajussi yang merasa terpukul karena perilaku anaknya hanya menahan air mata yang sudah hampir terjatuh. Mereka tahu, ini bukan salah Sungmin. Ini salah mereka yang sampai membuang anak itu hanya karena kurang biaya. Sementara itu, Sungmin sendiri masih menangis dibalik pintu kamarnya. Dia tahu, dia sendiri tidak bisa berkata begitu pada kedua orangtuanya, kata-kata itu muncul dengan sendirinya saat dia teringat 5 tahun yang lalu.

“Mianhae, appa.. eomma,” gumam Sungmin sambil terus terisak, masih tidak menyangka dia yang mengatakan hal seperti itu pada kedua orangtuanya. Pada dasarnya, dia memang ingin ke Seoul, kembali ke keluarga lamanya yang sudah ditunggunya dari 5 tahun yang lalu. Tapi, emosi yang lebih dominan dibandingkan rasa rindunya itu membuatnya meledak setiap melihat orangtuanya.

Flashback end..

Namja itu menghela napasnya lagi, entah sudah yang keberapa kalinya.

“Apa.. aku keterlaluan?,” Sungmin bergumam pelan, walaupun dia sudah tahu jawabannya, tentu saja membentak orang tua sendiri tanpa alasan bisa disebut keterlaluan. Tiba-tiba saat Sungmin berniat untuk merebahkan tubuhnya di kasur empuknya, terdengar suara seseorang membuka pintu apartemen. Sungmin yang mengira Sandeul baru pulang dari suatu tempat langsung mengubur pemikirannya itu mengingat sekarang baru pukul 4 pagi. Tapi, Sungmin tetap diam, menghiraukan pemikiran itu saat matanya mulai mengantuk. Sungmin masih berpikir, dia tidak bisa tidur walaupun sudah sangat mengantuk. Apa kecelakaan dongsaengnya pagi? Ani.. dari hasil penyelidikan polisi kan kecelakaan itu malam. Apa takdir berubah dan kecelakaannya menjadi pagi?! Lalu.. suara barusan.. apa Sandeul keluar? Bukan masuk?

Sungmin langsung berdiri dari tidurnya dan melangkah cepat menuju kamar Sandeul. Berharap melihat dongsaengnya di dalam sana. Berharap pikirannya salah dan dia akan melihat Sandeul sudah tertidur sekarang. Biar bagaimanapun, takdir bisa saja berubah. Terutama karena dia sudah mengubah takdir dongsaengnya semalam. Dan yang membuatnya kesal, dia sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya karena jalan cerita ini sudah berbeda, bukan lagi sebulan yang lalu. Dia sudah membuat takdir baru.

“Sandeul-ah..?,” Sungmin memanggil dari depan pintu dongsaengnya. Tidak ada jawaban, dia memutuskan untuk masuk. Kosong. Kemana bocah itu malam-malam begini? Sugmin menutup pintu kamar dongsaengnya dan mengambil ponsel dari sakunya, memutuskan menelepon Sandeul. Tapi yang terdengar malah dering ponsel Sandeul dari dalam kamar itu. Sungmin memutuskan sambungan teleponnya dan mendesis kesal. Sekarang dia menyesal tidak langsung keluar setelah mendengar suara pintu terbuka  tadi. Dan sialnya, hujan yang tadinya hanya gerimis bertambah deras, membuat hawa dingin menusuk sempurnya kulitnya biarpun sudah memakai baju berlengan panjang.

“Lee Sandeul..!!,” Sungmin berteriak agak keras, berharap orang yang dicarinya muncul karena barusan dipanggil. Setelah beberapa saat masih tidak ada jawaban, Sungmin berjalan cepat ke arah sofa, mengambil jaket tebalnya dan sebuah payung di sebelah pintu keluar apartemen.

~ ~ ~ ~ ~

Jinyoung yang baru pulang dari rumah CNU, setelah 3 jam memikirkan resep kopi baru di restoran mereka berdiri meneduh di halte bis setelah merasakan rintik-rintik kecil yang menimpa kepalanya menjadi besar dan banyak. Setengah rambutnya sudah basah, beruntung dia membawa jaket. Setidaknya tubuhnya tidak akan terlalu kedinginan walaupun sejujurnya tubuhnya sedikit bergetar sekarang ini.

“Hyung..?,” terdengar suara yang memanggilnya dari belakang, refleks Jinyoung membalikkan tubuhnya dan menemukan Gongchan yang juga setengah basah sepertinya menatapnya dengan tatapan ehm.. bahagia? Bahagia karena menemukan teman untuk meneduh di halte pagi-pagi buta seperti ini? Entahlah.

“Chan-ah.. kenapa kau pagi-pagi begini ada diluar?,” Jinyoung yang heran melihat Gongchan ada diluar, padahal sekarang baru jam setengah lima pagi. Biasanya namja itu masih asik dengan mimpinya di dunia pororo.

“Ah~ seingatku aku minum dengan Sandeul hyung.. barusan aku terbangun dan aku sudah ada di kamarku. Aku ingin mengurus dokumen appa yang belum sempat kuurus kemarin malam,” Gongchan menjawab sambil berjalan mendekat ke arah Jinyoung. Bau soju tercium jelas di hidung Jinyoung.

“Kau.. masih mabuk?,” Jinyoung bertanya ragu pada Gongchan.

“Ani.. sudah 3 jam yang lalu. Hanya masih sedikit pusing, mungkin karena masih dibawah umur”

“Memangnya kenapa kau bisa sampai minum begitu?,”Jinyoung duduku di kursi, diikuti Gongchan.

“Kau belum tahu ya? Appa meninggal..,” perkataan Gongchan membuat Jinyoung langsung menoleh ke arah namja yang masih memandang kosong hujan lebat diluar halte.

“Kau serius?”

“Hyung pikir ini bisa dijadikan candaan? Mian karena selama ini berpura-pura tidak mengenalmu.. itu perjanjianku dengan appa”

“Gwaenchana.. bukan masalah bagiku,” Jinyoung tersenyum kecil sambil terus memperhatikan hujan yang belum reda juga, malah semakin lebat, seakan semua air untuk satu bulan tumpah dalam waktu yang bersamaan.

~ ~ ~ ~ ~

Sandeul masih berjalan sejak setengah jam yang lalu. Entah dia mau kemana, yang jelas kakinya terus memaksanya berkeliling Seoul yang masih agak sepi. Otaknya masih memikirkan perkataan Gongchan saat namja itu mabuk. Kenapa Sungmin memilih bercerita yang sebenarnya dengan Gongchan dibanding dengannya? Apa katanya? Sungmin memarahi orangtuanya dan menolak kembali ke Seoul? Bukankah Sungmin bilang padanya appa dan eommanya tidak pernah menghubunginya setelah dititipkan di Jepang? Lalu surat apa yang dibacanya dulu? Apa Sungmin sendiri yang membuatnya? Atau rencana appa dan eommanya juga?

Ah..! Kepalanya serasa mau pecah sekarang. Belum lagi ditambah hujan yang terus mengguyurnya selama setengah jam ini. Dingin juga sudah menusuk kulit putihnya sampai ke tulang. Dengan cerobohnya, bukan.. dengan malasnya dia keluar apartemen tanpa membawa jaket ataupun payung. Bodoh memang, padahal sejak keluar apartemen dia tahu kalau diluar gerimis. Dan sekarang tidak ada niat sama sekali dari tubuhnya untuk sekedar berlindung dari hujan deras, biarpun kepalanya sudah pusing dan wajahnya pucat pasi. Sandeul masih berjalan santai kedepan, tidak menyadari seseorang mengikutinya dari belakang. Dia tidak peduli lagi kalau sakit, bahkan dia tidak peduli lagi kalau sampai pingsan.

Sementara itu, Jinyoung dan Gongchan yang masih hening, sama-sama terkejut melihat seseorang di sebrang jalan yang berjalan dengan santainya, seolah langit cerah sedang menyapanya dengan tersenyum saat ini.

“Apa dia gila?!,” refleks yang bersamaan. Jinyoung dan Gongchan yang sama-sama terkejut memekik heran. Apa-apaan orang itu? Cuaca sedingin ini hanya memakai kaos pendek dan tipis? Mau bunuh diri ya..?! Dan hal yang paling membuat mereka terkejut adalah.. namja itu Sandeul..?

“Lee Sandeul!!,” Jinyoung langsung berdiri dan berteriak, berusaha mengeluarkan suara terbesarnya untuk melawan derasnya hujan.

“Sandeul hyung!!,” Gongchan juga berteriak disebelahnya. Merasa ada yang memanggilnya, Sandeul bukannya menoleh malah mempercepat langkahnya, dia tidak ingin bertemu siapapun saat ini. Jinyoung dan Gongchan tidak mungkin mengejar namja yang sudah semakin jauh itu kalau tidak mau demam 2 jam kemudian. Gongchan hanya menghela napas kesal.

“Apa yang dilakukannya disini?,” Jinyoung berbicara dengan sedikit emosi. Bagaimana kalau Sandeul sakit? Lagipula dimana Sungmin? Apa bocah ini pergi diam-diam? Tidak lama kemudian, terlihat namja lainnya yang berjalan terburu-buru sambil melihat sekeliling dengan membawa payungnya, terlihat jelas dia sedang mencari seseorang. Lee Sungmin, panjang umur kau. Jinyoung dan Gongchan menghela napas lega. Saat Sungmin menoleh ke arah mereka, seakan tahu apa yang ingin ditanyakan Sungmin, Jinyoung dan Gongchan langsung menunjuk ke arah kanan, menandakan Sandeul baru pergi kesana. Sungmin mengangguk dan tersenyum lebar, seakan mengatakan terimakasih.

~ ~ ~ ~ ~

“Sandeul-ah!,” untuk kesekian kalinya Sungmin berteriak keras melawan suara lebatnya hujan pagi ini. Dia yakin beberapa jam lagi tenggorokannya pasti langsung sakit karena terlalu keras berteriak-teriak. Sedangkan Sandeul, seakan tidak mendengar, semakin mempercepat jalannya dan tanpa disadari dia berlari menjauh dari Sungmin. Dia hanya tidak ingin bertemu siapapun, dia hanya ingin sendiri. Tapi, tubuhnya yang memang sudah terasa lemas dari kemarin malam, memaksanya berhenti tidak jauh dari sana.

“Lee Sandeul,” Sungmin yang tidak bisa dibilang bodoh langsung menghampiri Sandeul dan berdiri didepannya. Sandeul yang melihatnya hanya menatap hyungnya, antara kesal, memelas, maaf, takut, semuanya menjadi satu. Ia kesal karena Sungmin membohonginya, ia ingin manja seperti biasanya, dan terkakhir, ia takut hyungnya tiba-tiba marah karena keluar tanpa izin. Sejujurnya, Sungmin agak kaget melihat keadaan Sandeul. Wajah pucat pasi yang terlihat jelas dan tubuh yang terlihat bergetar kedinginan itu membuat emosinya meluap dan tergantikan dengan rasa kekawatiran.

“Sandeul-ah..,” Sungmin melangkah maju. Tapi, sebaliknya Sandeul malah melangkah mundur. Dan Sungmin yang menyadari hal itu berhenti melangkah.

“Wae?,” Sungmin menatap ragu dongsaengnya yang sekarang menatap kecewa ke arahnya.

“Wae? Harusnya aku yang bilang begitu padamu, hyung..,” suara bergetar yang dikeluarkan Sandeul membuat Sungmin diam, dia hafal situasi ini. Dan dia tidak ingin dongsaengnya pingsan sebentar lagi.

“Sandeul-ah.. ayo pulang. Sekarang,” Sungmin berjalan mendekat tapi Sandeul malah mundur lagi, seperti kejadian sebelumnya.

“Wae? Kenapa kau berbohong? Katamu kau tidak pernah bertemu appa dan eomma!!,” teriakan Sandeul membuat Sungmin diam, tidak bergerak sama sekali. Darimana Sandeul tahu hal ini?

“Kenapa tidak memberitahuku? Kenapa kau berbohong, HAH?!,” Sandeul berteriak kesal, sedangkan Sungmin masih mematung ditempatnya. Beberapa detik hening.. hanya ada suara derasnya hujan sampai Sungmin tersadar saat melihat mata Sandeul yang mulai sayu. Bodoh.. anak itu bisa pingsan sekarang juga kalau kau tidak menolongnya, Lee Sungmin.

“Sa..sandeul-ah,” Sungmin melangkah lagi, tapi langkahnya langsung berhenti saat melihat cairan bening yang terhapus oleh hujan. Dia tahu Sandeul menangis. Mungkin lebih baik mati sekarang kalau Sungmin tetap memaksa mendekatinya. Tidak akan jadi masalah kalau Sandeul sekedar tahu Sungmin pernah bertemu kedua orangtuanya dan membohonginya, itu bukan masalah sama sekali bagi Sandeul. Tapi, dia juga tahu Sungmin yang memarahi kedua orangtuanya dan pergi begitu saja.

“Eomma sampai berpura-pura menikah dengan orang lain hanya karena ingin memberikan hidup yang layak untuk anak-anaknya! Dan sekarang aku tahu.. penyebab utama eomma melakukannya itu karenamu, hyung!!,” perkataan Sandeul memang benar. Penyebab utama eomma dan appanya seperti itu karena sakit hati tidak bisa memberikan uang yang cukup untuk anak sendiri, malu menjadi orang tua yang bahkan menitipkan anaknya pada orang lain.

“Geumanhae. Ayo pulang sekarang, Lee Sandeul.,” Sungmin berkata dengan datar, menahan emosi yang hampir mengeluarkan air matanya secara otomatis.

“Mwo? Bahkah kau saja tidak tahu nama asliku kan? Namaku bukan Lee Sandeul! Itu hanya panggilan! Namaku Lee Junghwan, pabo!!,” Sandeul berteriak kesal. Entah kenapa dia ingin dipanggil Junghwan sekali saja. Dia ingin kembali ke kehidupan damainya saat masih dipanggil Junghwan dulu. Perlahan, nafas namja ini semakin berat, dadanya terasa sesak. Kepalanya pusing dan serasa ingin muntah. Setelah itu yang bisa didengarnya hanya suara Sungmin yang memanggil namanya berulang kali, itupun semakin lama semakin mengecil, pandangannya pun sudah gelap total.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. kau bisa datang ke rumah sakit sekarang?,” Baro menelepon Sungmin setelah ada seorang ajumma yang mencari Sungmin untuk berobat suaminya, pasien tetap Dokter Lee.

“Mian, Baro-ya.. aku tidak bisa,” Sungmin menjawab dengan nada menyesal pada Baro.

“Tapi, hyung.. pasien hyung mencarimu. Katanya suaminya pingsan beberapa jam yang lalu,” perkataan Baro membuat Sungmin teringat ajussi pasiennya, pasien yang juga pindahan dari Jepang ke Korea.

“Ah~ Kim ajussi? Tunggu sebentar,” Baro tersenyum pada ajumma didepannya, yang sedati tadi mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek keadaan Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin menghela napas berat. Tidak  bisa.. harus dibawa ke rumah sakit.mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek keadaan Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin menghela napas berat. Tidak  bisa.. harus dibawa ke rumah sakit.

“Aku akan kesana sekarang,” perkataan Sungmin membuat Baro tersenyum lalu mengangguk pada ajumma yang juga tersenyum lega. Setelah itu sambungan telepon terputus.

“Sebentar lagi dia datang,” perkataan Baro membuat senyum ajumma itu semakin lebar.

“Kamsahamnida.. jeongmal kamsahamnida,” ajumma itu menyalami Baro yang sedikit menunduk itu.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin yang sedang berbicara dengan ajumma tentang keadaan suaminya mengirimi Baro pesan untuk datang ke kamar nomor 207. Baro yang bingung hanya menuruti tanpa protes. Dan sekarang, Baro terkejut saat melihat nama yang tercantum di depan pintu bernomor 207 itu. Tertulis, ‘Pintu 207, Lee Junghwan’. Detik selanjutnya, Baro memasuki kamar dengan terburu-buru. Apa yang anak ini lakukan sampai bisa masuk rumah sakit pagi-pagi begini? Baro mengurungkan niatnya untuk teriak saat melihat namja itu masih tertidur. Atau pingsan? Entahlah.. yang jelas matanya tertutup sekarang. Baro mendekatkan kursi yang agak jauh ke dekat tempat tidur Sandeul. ada pa sebenarnya? Kenapa dia bisa ada disini? Wajahnya tidak lebam atau luka.. hanya pucat. Tidak lama kemudian, Sungmin masuk. Baro yang melihatnya langsung berdiri.

“Hyung.. ada apa sebenarnya?,” Baro langsung bertanya dengan wajah kawatir.

“Masalahku.. ini salahku. Baro-ya.. aku bisa menitipkannya padamu kan? Di rumah sakit aku hanya dokternya, bukan hyungnya..,” Sungmin tersenyum miris. Janjinya benar-benar membuatnya tidak bebas.

“Arasseo.. gwaenchana,” Baro tersenyum sedikit. Dia ingat saat appanya juga memperlakukannya seperti itu. Sungmin mendekat ke arah Sandeul dan memeriksa keadaannya.

“Sudah membaik. Aku pergi dulu,” Sungmin berjalan keluar kamar. Baro kembali duduk dan Sandeul mulai membuka matanya. Perlahan, cahaya masuk ke dalam matanya.

“Kau sadar?,” suara Baro membuat Sandeul menoleh ke arahnya dan berusaha menegakkan tubuhnya.

“Kenapa aku bisa ada disini?”

“Entahlah.. saat melihat namamu di pintu depan aku langsung masuk..,” Baro menjawab sambil tersenyum. Sedangkan Sandeul masih berusaha memutar otaknya. Ah~ dia ingat sekarang. Setelah membentak hyungnya dia langsung pingsan. Jadi Sungmin yang membawanya kemari? Sepertinya dia harus minta maaf karena sudah membentaknya. Lamunan Sandeul dibuyarkan dengan suara nyaring dari ponsel milik Baro.

“Ne, eomma?”

“Ah~ sekarang?,” Baro melirik ke arah Sandeul.

“Gwaenchana,” Sandeul seakan mengetahui maksud Baro, menjawabnya pelan.

“Arasseo..,” Baro menutup teleponnya.

“Sandeul-ah.. mian eommaku menyuruhku pulang,” Baro tersenyum ragu ke arah Sandeul, Sandeul hanya tersenyum seperti biasa.

“Gwaenchana.. pulanglah,” Sandeul menyuruh Baro untuk pulang. Sedangkan Baro hanya mengangguk sambil tersenyum senang.

“Aku pergi. Jaga dirimu!,” Baro langsung melesat ke arah pintu keluar. Sandeul yang melihatnya hanya memandang aneh ke arah pintu yang sudah tertutup rapat.

Oh iya, Sungmin.. dia hampir lupa ingin meminta maaf pada Sungmin.

~ ~ ~ ~ ~

“Wae shireo? Ini enak~,” Sungmin yang sedang membujuk pasien laki-laki berumur 5 tahun itu berjongkok untuk menyamakan tinggi badan mereka. Mendengar pasiennya tidak mau makan obat membuatnya harus membujuk dengan cara tersendiri.

“Obat itu pahit~ Seojoon tidak mau meminumnya..!,” anak kecil itu masih tidak mau meminumnya.

“Tidak pahit.. ini enak, Seojoon-ah.. Obat ini sudah dimasukkan kedalam madu.. kau minum ya? Ini manis kok,” Sungmin masih menyodorkan segelas madu yang sudah dicampur dengan obat. Seojoon masih terlihat ragu untuk meminumnya tapi pada akhirnya dia mengambil dam meminumnya.

“Enak~”

“Benar kan? Nanti sore kau minta eommamu membuatkannya untukmu.. sekarang kembali ke kamar dan istirahatlah..,” Seojoon yang tadinya ditemani suster itu dibawa kembali ke kamarnya.
Sungmin yang menyadari ada yang memperhatikannya membalikkan tubuhnya saat Seojoon sudah masuk ke kamarnya.

Sandeul masih berdiri di tempatnya sambil memegang tiang infusnya. Dia melihat Sungmin yang masih memperhatikan pintu yang sudah tertutup, setelah itu Sungmin tiba-tiba menoleh ke arahnya.

“Sudah sadar? Ada yang sakit?,” Sungmin tersenyum sambil berjalan mendekat ke arahnya.

“Hyung..”

“Ah~ Baro belum memberitahumu? Sandeul-ssi.. Disini aku doktermu, bukan hyungmu.. Isitrahatlah dulu, kau belum boleh banyak berjalan,” Sungmin berjalan mendahului Sandeul. Tapi langkahnya berhenti saat mendengar Sandeul berbicara lagi padanya.

“Hyung.. mianhae..”

“Sandeul-ssi,” Sungmin berbalik sambil mentap Sandeul datar, biarpun sebenarnya siapapun yang melihatnya tahu Sungmin menahan emosinya lewat tatapan datar itu.

“Aku tidak peduli. Bisakah aku menganggapku dongsaeng disini? Hanya 2 menit.. aku janji,” suara Sandeul yang bergetar membuat tatapan Sungmin melunak. Bolehkah dia melanggar janjinya? Hanya 2 menit kan? Sepertinya tidak apa-apa. Dia ingin melanggar janji itu sekarang.

“Aku hanya ingin minta maaf. Aku janji akan selesai dalam 2 menit. Boleh kan?,” Sandeul bertanya lagi. Lagipula bukannya Sungmin yang harus minta maaf? Bukankah Sungmin yang membohonginya?

“Baiklah.. katakan sekarang. 2 menit untukmu, Sandeul-ah,” Sungmin menghela napas pasrah. Dia hanya berharap CCTV sedang rusak atau penjaga CCTV itu tertidur.

“Aku mau minta maaf kemarin membentakmu. Mian kemarin membuatmu kawatir. Dan sekali lagi mian merepotkanmu membawaku sampai kesini. Aku sendiri tidak menyangka bisa mengatakan hal seperti itu padamu. Bisa kau  lupakan semua tuduhanku kemarin? Termasuk saat aku mengtaimu pabo.. jeongmal mianhae, hyung,” Sandeul menundukkan kepalanya. Merasa malu mengatai hyungnya sendiri pabo, penyebab semua kejadian ini, dan hal lainnya.

“Wae? Kenapa kau minta maaf?”

“Ne?”

“Harusnya aku yang minta maaf..! Emosiku masih belum stabil dulu. Kau tidak perlu minta maaf karena memang kau tidak salah. Mianhae, Lee Junghwan,” Sungmin mendekat dan memeluk Sandeul pelan. Masih terasa tubuh Sandeul yang terasa panas, demam anak ini belum sembuh ternyata.

“Hyung..”

“Kau masih sakit..! Cepat kembali ke kamarmu..!,” Sungmin melepas pelukannya dan mendorong Sandeul agar kembali ke kamarnya sambil tersenyum.

~ ~ ~ ~ ~

5 tahun kemudian..

Terdengar bel apartemen berbunyi. Sungmin yang berdiri tak jauh dari sana langsung membukakan pintu.

“Baro-ya..!,” Sungmin mempersilahkan Baro masuk sambil tersenyum.

“Sandeul tidak ada disini..”

“Ani.. aku mencarimu, hyung.. aku ingin minta diajarkan materi ini,” Baro mengeluarkan buku kedokterannya dan memberikannya pada Sungmin.

“Kau kuliah kedokteran?,” memang terakhir kali dia mendengar Baro masuk kedokteran tapi, dia tidak tahu kalau itu kenyataan. Sungmin tersenyum dan mulai menjelaskan materi pada Baro.

~ ~ ~ ~ ~

CNU yang membuka cabang kafe milik ayahnya sekarang sudah memiliki 5 cabang hanya dalam waktu 2 tahun. Kafenya berkembang pesat sejak semua menunya dia ubah bersama Jinyoung.

“Jinyoung-ah! Jangan lupa nanti malam..!,” seorang yeoja yang tinggi dan cantik berteriak pada Jinyoung sebelum meninggalkan kafe.

“Arasseo!,” Jinyoung menjawabnya sambil tersenyum. Yeojachingunya menerima ajakan kencannya dan itu membuatnya merasa sangat senang. Terdengar suara seseorang dari belakang.

“Ehm.. Kau ini.. kenapa tidak sekarang saja?”

“Sekarang? Lalu kafenya?”

“Kau pikir aku hantu? Sana pergi!,” Jinyoung tersenyum pada CNU sebelum meninggalkan celemek dan berlari keluar, mengejar yeojachingunya yang sudah beberapa meter didepannya.

“Jinhee-ya~”

“Jinyoung-ah..! Bukannya..? Nanti malam?”

“Ani.. ayo ke taman sekarang!,” Jinyoung langsung menarik tangan yeojachingunya ke taman yang mereka rencanakan malam ini.

~ ~ ~ ~ ~

“Ya! Sudah kubilang pusatkan kekuatanmu disini!,” terdengar suara seorang namja yang memarahi muridnya di dalam ruang latikan taewondo.

“Ah~ sulit sekali..,” muridnya yang masih berumur sekitar 14 tahun itu mengeluh kesal karena balok itu masih belum pecah juga. Padahal dia sudah mencoba memecahkannya lebih dari 10 kali.

“Baiklah.. intirahat dulu,” namja itu berjalan ke pojok ruangan dan meminum air mineralnya.

“Sandeul hyung!,” Gongchan menghampiri Sandeul yang masih duduk di pojok ruangan.

“Kau disini? Kupikir kau masih ada di perusahaanmu itu..,” Gongchan hanya tersenyum menanggapinya.

“Hyung.. aku mau latihan.. sudah lama aku tidak latihan bersamamu. Lagipula berada di perusahaan terus menerus membuatku muak dengan apapun yang berhubungan dengan kertas,” Gongchan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

“Benarkah?,” Sandeul sedikit tersenyum menanggapinya. Gongchan yang dikenalnya sekaranng bukan lagi namja manja yang dulu dikenalnya. Gongchan yang sekarang sudah bertanggung jawab dan lebih dewasa.

“Kajja,” Gongchan menarik Sandeul ke ruang berlatih milik mereka dan mulai berlatih.

Masa lalu yang tidak menyenangkan pasti tidak diharapkan oleh semua orang..

Tapi, percayalah.. hidup itu adil..

Semua orang memiliki kelemahan biarpun fisik atau batin..

Dan semua orang juga memiliki kelebihan yang lain dari pada orang lain..

Jadi, seburuk apapun masa lalu.. masih ada hari esok yang memberikan kita harapan..


The end

[FF] Stay Away - Part 9


Author                  : Park Je Won

Title                      : Stay Away

Main Cast           : B1A4, Sungmin Suju

Other Cast          : You can find.. :D

Legth                   : Part

Genre                  : Friendship, Family, Brothership

Note                    : Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini asli milik author.

Part 9 : Sungmin’s Mission

“Datang lagi ya hyung..!!,” Baro melambaikan tangannya pada Sungmin dan Sandeul yang sudah berjalan agak jauh dari kafe.

“Lain kali coba kalahkan aku!!,” Sungmin juga melambaikan tangannya lalu lanjut berjalan.

“Sungmin hyung orang yang unik. Dia benar-benar bisa menebak yang akan terjadi..,” CNU bergumam saat Sandeul dan Sungmin sudah tidak terlihat lagi.

“Ne.. aku suka kepribadiannya,” Jinyoung menambahkan.

“Benar-benar seperti anak kembar..,” lanjut Baro. Sedangkan Sandeul dan Sungmin yang sudah berjalan jauh itu masih hening.

“Sandeul-ah.. besok kau mau ikut aku ke apartemen kan? Tinggallah bersamaku disana,” Sungmin memecah keheningan diantara mereka.

“Ne?,” Sandeul menatap Sungmin heran. Sungmin teringat kejadiannya memaksa Sandeul untuk datang ke apartemen dan tinggal bersamanya dulu dan hanya ada satu alasan yang bisa diterima dongsaengnya itu dan alasan utamanya mengajak Sandeul tinggal di apartemen yang sudah dipesannya dari kemarin, sebelum keberangkatannya ke Seoul.

“Aku merasa bersalah pada appa dan eomma. Lagipula mereka yang menitipkanmu padaku.. tempat tinggal saja tidak bisa, bagaimana aku menjagamu? Lakukan sesuai kata-kata appa dan eomma saja. Aku yakin mereka juga tidak rela kau tinggal disana,” Sandeul terlihat berpikir, tidak lama kemudian namja itu mengangguk pelan, menandakan tanda setuju pada hyungnya yang langsung tersenyum senang.

“Besok pagi kau siapkan barang-barangmu. Siangnya kita langsung pindah..,” Sungmin mempercepat langkahnya, mengingat jarum yang baru dilihatnya pada jam tangannya itu menunjukkan pukul 12 malam.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. apa ini tidak berlebihan?,” Sandeul memperhatikan sekeliling apartemennya.

“Gwaenchana.. ini penghargaan dari rumah sakit karena aku sering memecahkan masalah dengan benar jadi ini gratis.. untuk 5 tahun,” Sungmin manaruh kopernya di ruang tengah apartemen. Apartemen yang memang sangat mewah itu.

“Wah~ sepertinya kau jenius,” Sandeul juga ikut membawa barangnyaa.

“Ada 2 kamar. Kau mau yang mana?,” Sungmin memperhatikan 2 pintu kamar yang terbuka lebar.

“Sama saja. Terserah hyung mau yang mana,” Sandeul menjawab sambil tersenyum. Tiba-tiba ponsel Sungmin berbunyi nyaring, panggilan dari rumah sakit.

“Ne.. Sungmin imnida”

“Ah~ sekarang? Wae?”

“Ajussi kritis..?!”

“Aku akan datang dalam 10 menit. Siapkan ruang operasinya,” Sungmin langsung menutup teleponnya.

“Sandeul-ah.. mian aku harus ke rumah sakit sekarang.. Kau tempati kamar yang disana saja. Aku pergi!,” Sungmin menunjuk ke arah kamar di sebelah kanannya lalu langsung berlari keluar apartemen. Sepertinya hyungnya harus pergi menyelamatkan nyawa seseorang yang kritis. Sandeul hanya menatap bingung ke arah pintu apartemen mewah yang sudah tertutp rapat lalu mengalihkan pandangannya menuju kamar yang tadi ditunjuk Sungmin dan mulai memasukinya.

~ ~ ~ ~ ~

“Kau datang?,” CNU menyambut kedatangan Sandeul dengan senyumnya di balik meja kasir.

“Ne..”

“Kau pindah ya? Dari kemarin kau datang dari lain arah..,” Jinyoung bertanya sambil mengambil minuman dan melatakkannya di nampan yang dipegangnya.

“Ah~ aku belum membertahu kalian ya? Seminggu yang lalu aku pindah ke apartemen Sungmin hyung,” Sandeul menjawabnya sambil berjalan menuju ruang ganti.

“Sandeul-ah~ Sungmin hyung itu dokter ya? Kemarin aku bertemu dengannya di rumah sakit dengan.. appanya Gongchan,” Baro tiba-tiba berdiri menghalangi jalan Sandeul.

“Appanya Gongchan? Gong Hyukmin?,” Sandeul mengerutkan alisnya.

“Ne.. tapi ajussi itu duduk di kursi roda. Sepertinya dia pasiennya Sungmin hyung..,” Sandeul mengangguk mengerti. Jadi panggilan darurat operasi yang diterima hyungnya seminggu yang lalu itu untuk appanya Gongchan?

“Sandeul-ah.. kau sudah berdamai dengan ajussi?”

“Sudah.. tidak ada masalah apapun lagi..,” Baro pergi sambil menganggukkan kepalanya sedikit.

“Sepertinya,” Sandeul bergumam pelan. Dia masih tidak yakin ajussi itu sudah berhenti mengusik hidupnya.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin memasuki kamar Sandeul dan duduk di sebelah dongsaengnya.

“Sandeul-ah.. boleh aku bertanya sesuatu?,” Sungmin bertanya hati-hati.

“Tentu saja,” Sandeul terus duduk sambil memperhatikan hyungnya.

“Boleh aku bertanya masalahmu dengan Gongchan? Atau.. keluarganya?”

“Gongchan? Bagaimana kau tahu aku ada masalah dengan keluarganya?,” Sandeul menatap bingung hyungnya.

“Sudah kubilang aku tahu kejadian yang akan datang, apa masalahmu?”

“Gongchan.. sebenarnya dia adik tiri kita. Karena ekonomi keluarga kritis saat aku lahir, eomma menikah dengan appanya. Saat appanya tahu kalau eomma hanya mempermainkannya, appanya Gongchan marah karena eomma kabur setelah melahirkan Gongchan,” Sungmin menatap tidak percaya pada Sandeul. Eommanya sampai berbuat seperti itu hanya untuk keluarga mereka?

“Begitu ya.. Aku keluar dulu ya. Jangan tidur terlalu malam,” Sungmin tersenyum lalu pergi keluar meninggalkan Sandeul. Entah kenapa dia ingin melihat wajah appanya Gongchan. Apa yang membunuh dongsaengnya tanggal 27 Juli itu appanya Gongchan karena dendam? Saat pikirannya sibuk memikirkan hal itu, dia dapat telepon lagi, dari rumah sakit. Biasanya ajussi pasien itu keadaannya kritis kalau rumah sakit sampai menelepon dengan tanda darurat seperti itu.

“Ini aku”

“Mwo?!”

“Arasseo.. aku akan kesana sekarang”

Benar dugaannya, ajussi yang sudah menjadi pasiennya selama 2 minggu terakhir itu drop lagi. Jantung buatan yang sudah berumur 5 tahun itu sudah habis masa waktunya.

~ ~ ~ ~ ~

“Appa..,” Gongchan memanggil appanya yang masih terbaring lemah di rumah sakit.

“Kenapa kau disini? Kau satu-satunya harapanku untuk perusahaan dan Minwoo. Pulanglah..,” ajussi itu menjawab dingin, sama dengan tatapan anaknya yang dingin.

“Appa. Aku tidak bisa lagi..”

“M..mwo?”

“Aku.. tidak bisa berpura-pura lagi untuk tidak mengenalnya. Biar bagaimanapun dia itu hyungku. Appa.. jeongmal mianhae,” Gongchan menundukkan kepalanya, merasa bersalah mengatakan hal ini dalam keadaan ayahnya yang seperti sekarang.

“Appa hanya melakukan yang terbaik. Appa benar-benar tidak bisa melupakan dendam appa,” Appanya Gongchan hanya menatap tajam ke arah Gongchan.

“Appa.. Tapi aku benar-benar tidak bisa.. Sandeul hyung benar-benar dekat denganku,” Gongchan masih menundukkan kepalanya.

“Lebih baik kau pergi sekarang dan pikirkan keputusanmu itu. Bukankah kau sendiri yang meminta kesempatan hidup untuk bocah itu?,” Appanya Gongchan hanya menahan amarahnya. Entah apa yang membuatnya benar-benar dendam dengan keluarga Lee. Gongchan hanya berjalan keluar dari kamar itu. dia masih ingat persis perjanjiannya dengan appanya. Perjanjian yang mempertaruhkan nyawa hyungnya itu.

“Ah.. jweoseonghamnida,” saat Gongchan membuka pintu, dia hampir bertabrakan dengan seorang dokter yang akan masuk ke ruangan appanya.

“Jweseonghamnida,” dokter itu juga sedikit membungkukkan tubuhnya, meminta maaf. Gongchan sempat kaget saat melihat wajah dokter itu. Benar-benar mirip dengan Sandeul. Apa dokter itu yang mengurus appanya? Gongchan memutuskan untuk pulang, biar bagaimanapun lebih baik dia tetap dengan aktingnya dan Sandeul hidup dengan tenang. Mungkin itu yang terbaik.

“Anakmu?,” dokter muda itu bertanya saat pintu sudah tertutup rapat. Ajussi yang ditanya hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan dokternya.

“Kalau sakit akan ku ambilkan obat. Sakit tidak?,” dokter yang sudah mengurus ajussi 3 minggu terakhir ini bersiap berjalan keluar, mengambil obat bius.

“Tidak usah. Aku sudah tua, tidak terlalu sakit,” ajussi itu menjawab sambil sedikit bercanda.

“Ajussi.. Ada hal yang ingin kau lakukan? Maksudku sebelum kau.. ehm,” dokter itu merasa sedikit tidak enak menanyakan dengan jelas. Tapi ini harus dilakukan setiap dokter pada pasiennya yang sudah kritis.

“Entahlah.. mungkin aku akan masuk neraka. Tapi aku masih sangat dendam dengan wanita itu. Wanita itu menghianatiku dan anak itu dekat dengan anakku. Aku benar-benar ingin menghilangkan anak itu dari bumi,” dokter itu sedikit terkejut dengan perkataan pasiennya, entah kenapa tiba-tiba dia teringat dengan cerita dongsaengnya seminggu yang lalu.

“Ah~ kau.. punya dendam? Boleh kutahu siapa nama anakmu? Dia sangat tampan. Mirip denganmu,” doter itu masih berusaha tersenyum, menutupi kepanikan yang ada di otaknya.

“Benarkah? Namanya Gongchan.. Gong Chansik,” Sungmin sedikit terkejut mendengarnya. Jadi selama ini dia merawat orang yang membunuh adiknya sendiri? Kenapa dia baru menyadarinya sekarang?

“Ah~ nama yang bagus..,” Sungmin tersenyum pada ajussi itu.

“Ajussi istirahatlah. Aku keluar dulu, kalau ada apa-apa panggil saja,” Sungmin menunduk singkat lalu beranjak dari ruang serba putih itu.

“Sandeul-ah.. mianhae, jeongmal mianhae,” Sungmin bergumam pelan sambil berjalan memasuki ruangannya.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin berlari menuju ruang operasi. Ajussi itu sudah semakin kritis. Entah bagaimana lagi menyelamatkan nyawanya, otak pintarnya masih berkutat memikirkan hal itu. Akhirnya dia sampai di ruang operasi dan langsung memulai operasi.

4 jam sudah terlewati, melebihi waktu operasi yang seharusnya hanya 3 jam. Gongchan yang menunggu diluar tertidur dengan pulas di kursi.

“Tidak bisa.. Dokter, ini sudah tidak ada harapan sama sekali,” asistennya bersiap menyerah melihat garis lurus yang tetap ada di layar, mereka semua sudah berusaha melakukan yang terbaik, tapi kehendak Tuhan berkata lain. Ajussi yang sudah menjadi pasiennya selama sebulan ini sudah tidak bisa diselamatkan.

“Andwae.. ajussi.. jebal..,” baru kali ini Sungmin kehilangan nyawa pasiennya. Biarpun ajussi ini pembunuh adiknya, ajussi ini tetap pasiennya. Dan dia sudah bersumpah menyembuhkan semua pasiennya tanpa membawa masalah pribadinya. Dia teringat pembicaraannya dengan ajussi itu semalam.

Flashback..

“Ajussi.. gwaenchana?,” dokter itu memasuki kamar pasiennya setelah melihat hasil pemeriksaan yang menunjukkan keadaan ajussi itu semakin kritis.

“Gwaenchana. Lagipula aku ingin cepat pergi dari sini..”

“Ajussi. Jangan bicara begitu.. anakmu masih membutuhkanmu..,” Sungmin mendekatkan kursinya ke tempat tidur ajussi itu.

“Tentang dendam yang kau beritahuku seminggu yang lalu.. itu dendam dengan keluarga Lee?,” Sungmin bertanya dengan ragu.

“Ne. Bagaimana kau tahu?,” ajussi itu memandang Sungmin heran.

“Aku.. Lee Sungmin, hyung kandung Lee Sandeul,” Sungmin tersenyum pelan.

“Mwo?!,” ajussi itu terlihat terkejut.

“Kau bisa melepas dendam itu? Biar bagaimanapun Sandeul tidak bersalah”

“Aku.. tidak bisa. Dia dekat dengan Gongchan.. aku tidak bisa membiarkannya masuk ke kehidupan kami lagi. Mianhae, Sungmin-ssi,” ajussi itu menjawab dengan tenang.

“Baiklah. Lupakan pembicaraan barusan, disini aku dokter dan aku sudah bersumpah untuk menyembuhkan semua pasienku tanpa membawa masalah pribadiku. Aku permisi dulu,” Sungmin tersenyum lalu beranjak keluar dari ruangan itu.

Flashback end..

“Hari ini, 26 Juli 2014, pukul 22.16 Gong Hyukmin pergi..,” perkataan asistennya membuatnya tersadar.

“Mwo?! 26 Juli?!,” Sungmin yang masih terkejut mendengar tanggal hari ini langsung melihat jam, 22.16.. Sandeul.. Dongsaengnya.. kecelakaannya malam kan? Asistennya mengangguk bingung, Sungmin langsung melepas pakaian operasi dan memberikannya pada salah satu suster, sekarang semua orang memandang bingung ke arahnya.

“Dokter.. pengumuman..,” asistennya memanggilnya lagi.

“Kau saja yang beritahu Gongchan!!,” setelah berkata begitu, Sungmin langsung berlari keluar rumah sakit.

“Pabo! Bagaimana kau lupa hari penting seperti ini!! Lee Sungmin pabo!!,” Sungmin terus berlari menuju daerah kecelakaan dongsaengnya.

“Sandeul-ah.. jebal.. jebal..,” Sungmin terus bergumam sepanjang perjalanannya. Setelah 5 menit, akhirnya dia sampai di tempat itu. Tepat dugaannya, Sandeul ada disana, sekitar 10 meter dibelakangnya sebuah mobil melaju dengan kencang. Sungmin yang melihat hal itu langsung berlari secepat mungkin dan menarik tangan Sandeul lalu memeluknya. Sungmin melihat namja itu, wajah namja itu.. anak buah Gong Hyukmin yang pernah dilihatnya di rumah sakit. Sandeul yang menyadari nafas hyungnya yang tidak beraturan ditambah jas dokter yang masih digunakan namja itu hanya menghela napas. Entah apa yang akan terjadi kalau hyungnya tidak datang sekarang.

“Hyung..,” Sandeul yang masih bingung hanya bergumam pelan. Sedangkan Sungmin tersenyum senang.

“Sandeul-ah.. misiku berhasil. Kau selamat, Lee Sandeul..,” Sungmin bicara sambil sesekali mengatur napasnya lalu melepas pelukannya dan menatap senang dongsaengnya.

“Hyung..”

“Gwaenchana?,” Sungmin membolak-balikkan tubuh dongsaengnya.

“G..gwaenchana,” Sandeul yang masih mencerna kejadian barusan hanya mengangguk ragu.

“Eomma.. appa.. aku berhasil,” gumam Sungmin pelan sambil terus tersenyum. Setidaknya pengorbanannya yang berlari 4 km dalam 10 menit tidak sia-sia.

“Hyung.. aku.. masih tidak mengerti,” Sandeul menatap bingung hyungnya.

“Kajja. Aku meninggalkan pekerjaanku untuk berlari kesini. Akan kujelaskan di perjalanan,” Sungmin mengajak Sandeul ke rumah sakit. Sandeul mengikutinya dengan ragu.

“Aku.. kembali dari tanggal 27 Juli ke 27 Juni..,” Sungmin memecah keheningan diantara mereka. Sandeul menatap ke arahnya, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Maaf saja, tapi.. tanggal 27 Juli dulu kau ditemukan meninggal karena kecelakaan yang diduga kasus pembunuhan,” Sandeul menatap tidak percaya pada hyungnya.

“Saat aku mendengarnya, aku benar-benar merasa bersalah dan tidak berguna. Tapi, tiba-tiba saat sore aku pergi ke kafe dan menemukanmu sedang membuang sampah. Kau ingat?,” Sandeul mengangguk ragu menjawabnya.

“Kupikir aku bermimpi atau menghayal. Saat aku melihat tanggal pada kalendar kafe CNU, kukira kalendarnya tidak pernah dibalik dan aku menyuruh Baro. Tapi setelah itu aku menemukan tiket pesawatku. Semenjak itu aku tahu kalau aku kembali ke masa lalu, mungkin untuk mengubah takdirmu, seperti di drama God’s Gift ya..? Aku tahu ini tidak masuk akal, malah sangat tidak masuk akal. Tapi ini benar-benar terjadi padaku,” Sungmin menghela napas berat. Mungkin Sandeul mengiranya gila mengatakan hal ini.

“Gumawo,” Sandeul menjawabnya pelan, Sungmin mendongakkan kepalanya ke arah Sandeul.

“Gumawo sudah kembali dan menyelamatkanku,” Sandeul melanjutkan perkataannya sambil tersenyum ke arah Sungmin.

“Kau percaya..?,” Sungmin menatap Sandeul tidak percaya.

“Apa ada yang tidak mungkin? Tentu saja aku percaya..,” Sandeul menatap balik hyungnya yang tersenyum ke arahnya.

“Kau baru pulang?,” Sungmin yang melihat Sandeul masih lengkap dengan seragamnya menatap bingung ke arah dongsaengnya itu. Setahunya Sandeul tidak suka pulang malam dari sekolah.

“Ne.. tadi ada acara..,” Sandeul menjawab sambil membenarkan posisi tas ranselnya.

~ ~ ~ ~ ~

Gongchan yang baru mendengar kabar appanya meninggal masih berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun.

“Gongchan-ssi.. kau mau melihat appamu untuk yang terakhir kalinya?,” asisten dokter itu kembali menanyakan hal yang sama seperti setengah jam yang lalu. Sedangkan Gongchan, namja yang ditanya masih tetap memandang kosong ke arah lantai yang dipijaknya. Tidak ada rasa lelah sama sekali, tidak ada rasa pegal sama sekali. Dia hanya merasa kosong.. appanya sudah pergi.. eommanya juga sudah pergi. Seperti inikah yang dirasakan Sandeul saat kedua orangtuanya dibunuh tepat dihadapannya?

“Gongchan-ssi..,” tiba-tiba Sungmin datang dengan Sandeul dibelakangnya.

“Gongchan-ah..,” Sandeul yang juga datang bersama Sungmin langsung menghampiri Gongchan dan memeluknya.

“Chan-ah.. menangislah kalau kau mau menangis..,” Sandeul melepas pelukannya, dia teringat saat orangtuanya meninggal dulu.

“Sandeul hyung.. mianhae.. jeongmal mianhae,” Gongchan bergumam pelan.

“Gwaenchana.. Chan-ah.. kau tidak mau melihat appamu? Kajja,” Sandeul langsung menarik tangan Gongchan memasuki ruangan itu.

“Dokter Lee..! Kau darimana saja?,” asisten dokter itu protes saat Sungmin tiba-tiba berlari dan meninggalkannya untuk memberitahu kabar buruk pada anak pasien.

“Mian, aku pergi menyelamatkan nyawa dongsaengku,” Sungmin menjawab dengan enteng.

“Dongsaengmu?,” asisten itu menunjuk ke arah ruangan itu, bertanya anak yang barusan memeluk Gongchan itu dongsaengnya?

“Ne.. Namanya Sandeul,” Sungmin menjawab sambil duduk di salah satu kursi.

“Pantas mirip sekali denganmu.. Ah ne, jangan lupa masih ada pasien lain,” asisten dokter itu pergi meninggalkan Sungmin yang lebih memilih beristirahat disini.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. mianhae,” Gongchan bergumam pelan saat mereka keluar dari kamar appanya yang sudah meninggal beberapa jam yang lalu.

“Hm? Tentang amnesiamu itu? Gwaenchana.. aku sudah menduganya,” Sandeul menjawabnya sambil terus menatap lurus ke ujung koridor rumah sakit ini.

“Appa menjadikan itu persyaratan agar kau tetap hidup,” suara Gongchan sedikit bergetar, dan Sandeul menyadari akan hal itu.

“Arasseo. Tidak usah kau jelaskan.. aku sudah mengerti,” Sandeul menjawabnya sambil terus menatap lurus, entah apa yang dilihatnya.

“Kupikir.. aku akan bisa melakukannya sampai bertahun-tahun. Nyatanya.. baru beberapa minggu sudah tidak kuat. Dan appa terus memaksaku melakukannya.. mianhae, hyung,” Gongchan masih terus melanjutkan perkataannya dan hal itu membuat Sandeul menghela napas keras.

“Geumanhae, Chan-ah..,” Sandeul bergumam pelan sambil memasukkan tangannya pada jas sekolahnya. Kali ini Gongchan mendengarkannya, dia sudah berhenti mengoceh.

“Hyung.. orang yang tadi bersamamu, bagaimana kau tahu kalau itu dokter yang merawat appa selama sebulan ini?,” Gongchan teringat namja yang datang bersama Sandeul beberapa menit yang lalu. Sandeul kaget dan menatap Gongchan bingung.

“Apa maksudmu? Dokter appamu? Nugu? Sungmin hyung?,” Sandeul menatap tidak percaya ke arah Gongchan yang mengangguk ragu.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin yang baru selesai dengan semua pasiennya, berencana pulang ke apartemennya secepatnya. Dia tidak menyangka akan pulang selarut ini, seharusnya dia memilih sift malam saja hari ini, berhubung misinya yang sudah berhasil, sangat berhasil malah. Sungmin terus berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sudah mulai sepi sambil membawa tasnya dan sesekali melihat sekeliling. Satu kata untuk namja ini, bodoh.. apa dongsaengnya masih menunggunya setelah 4 jam berlalu? Terlebih hanya sekedar untuk pulang ke apartemen bersama. Padalah tadi sudah ada Gongchan yang kemungkinan besar pulang bersama Sandeul. Tapi, tiba-tiba langkah namja ini berhenti, di ujung sana ada seorang anak yang dicarinya dari tadi. Sungmin menatap tidak percaya ke arah Sandeul yang sudah tertidur pulas di salah satu kursi di ujung lorong. Bocah ini masih menunggunya.

“Sandeul-ah,” Sungmin berjalan pelan mendekati dongsaengnya yang masih tidak bergerak.

“Lee Sandeul,” kali ini dia mengeraskan suaranya saat sudah berdiri tepat di depan dongsaengnya.

“Oh?,” Sandeul yang baru terbangun langsung berdiri dan menatap hyungnya bingung.

“Ah.. kau sudah selesai, hyung?,” namja itu melanjutkan perkataannya sambil berdiri, menatap hyungnya dengan mata merahnya sambil setengah sadar, terlihat jelas namja ini masih sangat mengantuk dan ingin tidur biarpun sambil berjalan.

“Kau masih menungguku?,” Sungmin tersenyum lega sekaligus kawatir menatap dongsaengnya.

“Ayo pulang,” hanya itu yang keluar dari mulut Sandeul dan berjalan mendahului Sungmin yang menatapnya heran. Tidak biasanya anak itu seperti ini.

Sedangkan selama perjalanan menuju apartemen mereka yang hanya berjarak beberapa bangunan Sandeul tetap diam, sekalipun Sungmin mengajaknya bicara, Sandeul hanya tersenyum sebentar dan menjawab dengan mengangguk atau menggeleng. Hanya itu.

“Wae geurae? Kau sakit?,” ini sudah ketiga kalinya Sungmin bertanya hal itu pada Sandeul dan respon Sandeul sama, tersenyum lalu menggeleng pelan. Sungmin hanya menghela napas, sedikit bingung dengan Dongsaengnya. Kalau hanya karena faktor mengantuk, seharusnya dari kemarin dia seperti ini.

“Kau kenapa? Ada masalah?,” Sungmin menatap lurus kedepan, menatap bangunan yang berjarak kurang lebih 100m dari hadapannya. Sandeul pun hanya menggeleng pelan dan berjalan cepat, menandakan dia hanya ingin ke apartemen sekarang, istirahat dan mungkin menghindari Sungmin sementara waktu. Sungmin mengerutkan dahinya, merasa asing dengan sifat Sandeul yang seperti ini. Tiba-tiba terlintas di pikirannya, appanya Gongchan, Gong Hyukmin. Apa Sandeul sudah tahu kalau Gong Hyukmin itu pasiennya? Lalu kenapa Sandeul seperti itu? Apa ada masalah kalau Gong Hyukmin itu pasiennya? Sungmin mempercepat langkahnya, menjajarkan posisinya dengan Sandeul yang sudah beberapa langkah didepannya.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin duduk di pinggir tempat tidurnya. Satu jam lagi pukul lima pagi, dia benar-benar tidak bisa tidur hari ini. Apalagi setelah pulang dari rumah sakit pukul 3 pagi, berarti sudah satu jam dia hanya tidur-tiduran di kasurnya. Pikirannya melayang ke 10 tahun yang lalu. Dia bohong kalau belum pernah menemui orangtuanya setelah pergi ke Jepang. Kebohongan besar yang ingin selalu ditutupinya, terutama dari Sandeul.

Sungmin memutar lagi otaknya. Dia yakin pernah memberitahu seseorang cerita ini, dan yang membuatnya sedikit tenang adalah.. dia yakin orang itu bukan Sandeul. Setelah lama berkutat dengan otak pintarnya, Sungmin menghela napas kesal. Dia masih belum berhasil mengingat siapa orang itu. Dia hanya berharap orang itu belum memberi tahu dongsaengnya apapun.

“Appa.. eomma.. mianhae,” gumam Sungmin pelan.


To Be Continue

[FF] Stay Away - Part 8


Author                  : Park Je Won

Title                       : Stay Away

Main Cast             : B1A4, Sungmin Suju

Other Cast             : You can find.. :D

Legth                       : Part

Genre                       : Friendship, Family, Brothership

Note                          : Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini asli milik author.

Part 8 : Someone Come Now..

“Sandeul-ah.. kajja,” Baro membuyarkan lamunan Sandeul dan menariknya mengikuti Jinyoung dan CNU dari belakang.

“Gongchan-ah..!,” Jinyoung memanggil Gongchan yang sudah berjarak 5 meter dihadapannya, namja itu berbalik menatap Jinyoung datar.

“Gongchan-ah.. kau tidak mengingat kami?,” CNU mendekat ke sebelah Jinyoung.

“Ani. Aku pergi,” Gongchan berbalik dengan wajah datar.

“Ya! Gong Chansik!!,” kali ini suara Baro yang terdengar, Gongchan membalikkan lagi tubuhnya menatap malas ke arah mereka.

“Kenapa banyak sekali orang yang mengenalku dulu. Menyusahkan saja,” Gongchan berbalik sambil bergumam kesal, meninggalkan 4 orang namja yang masih menatapnya bingung.

“Kurasa dia memang amnesia. Dia melihat semua papan nama teman sekelas, sampai Kim Sonsaengnim,” Baro memecah keheningan diantara mereka.

“Benarkah? Bagaimana bisa..?,” Jinyoung bergumam sambil memperhatikan jam tangannya.

“Kau ada janji?,” CNU yang daritadi melihat Jinyoung memperhatikan jam tangan memandang Jinyoung aneh.

“Jinhee noona menerima tawaran kencanku,” Jinyoung tersenyum senang.

“Jinjja? Cepat pulang sana!,” Baro mendorong Jinyoung.

“Aku duluan, ne?,” Jinyoung melambaikan tangannya sambil berlari menuju rumahnya.

“Annyeong~”

~ ~ ~ ~ ~

“Lee Sandeul..,” seorang namja memanggil Sandeul yang sedang berjalan keluar kafe, berniat membuang sampah di tempat sampah luar kafe. Sandeul membalikkan tubuhnya dan menatap bingung namja di depannya, namja yang mirip dengannya.

“Nuguseyo..?”

“Mwoya? Apa yang kau lakukan disini?,” namja itu terlihat tidak percaya saat melihat Sandeul.

“Jogiyo.. Nuguseyo?,” Sandeul masih menatap aneh namja itu.

“Aku mau bicara denganmu,” namja itu menarik Sandeul kedalam kafe dan duduk di salah satu meja yang kosong. Namja itu menatap sekeliling, pandangannya berhenti saat menatap kalender yang bertuliskan 27 Juni 2014.

“Ck.. tanggal berapa sekarang.. kalender aneh,” namja itu bergumam pelan sedangkan Sandeul  menatap aneh namja di depannya lalu berdiri dengan kesal, namja itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah Sandeul.

“Odiga?,” tanyanya sambil menatap polos ke arah Sandeul sedangkan Sandeul menatapnya kesal.

“Sepertinya kau salah orang. Aku masih banyak kerjaan. Kalau mau pesan panggil pelayan,” Sandeul berbalik lalu berjalan menuju dapur. Sedangkan namja itu memperhatikan Sandeul.

“Dia benar-benar Sandeul..,” namja itu bergumam tidak percaya lalu memesan kopi pada Baro.

“Baro-ya.. Apa Sandeul sakit?,” namja itu bertanya sambil mengembalikan buku menu ke arah Baro. Baro menatapnya bingung, bukannya ini pertemuan pertama dengan namja ini? Kenapa sepertinya namja ini sudah kenal dekat dengannya?

“Ne? Nuguseyo?,” Baro agak menunduk.

“Ck.. aigoo~. Sudahlah.. lupakan. Benarkan saja kalender di kafe ini. Aigoo~,” namja itu menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sedangkan Baro menatap ke arah kalender itu lalu bergantian ke arah jam tangannya. Tidak ada yang salah, namja ini gila ya? Baro menunduk singkat lalu langsung berjalan ke arah kasir, memberikan pesanan pada CNU yang sedang melayani pembeli.

“Hyung.. kau mengenal orang itu?,” Baro bertanya saat pelanggan itu sudah pergi. CNU menoleh ke arah yang ditunjuk dengan mata Baro.

“Ani.. wae?,” CNU menatap bingung ke arah Baro.

“Dia seperti kenal dekat denganku lalu dia juga menyuruhku membenarkan kalender di kafe ini. Apa dia gila?,” Baro menatap ngeri ke arah CNU.

“Entahlah.. lihat saja nanti..,” CNU memberikan pesanan pada Sandeul dari jendela kecil yang menghubungkan dengan dapur. Sementara itu namja itu masih berpikir keras.

“Sepertinya aku pernah mengalami kejadian ini..,” namja itu masih memutar otaknya lalu HP yang berada di dalam sakunya itu bergetar, menandakan ada pesan masuk. Namja itu merogoh sakunya dan mendapatkan benda hitam itu lalu menariknya keluar, mengecek pesan yang masuk. Namja itu mengerutkan dahinya ssat membaca pesan itu. sekali lagi dia merasa pernah membaca pesan seperti ini, dan saat namja itu melihat tanggal masuk pesan ini, ‘27 Juni 2014’.

“27 Juni..?,” gumam namja itu pelan lalu merogoh saku kirinya dan menarik secarik kertas yang ada disana. Namja itu semakin bingung saat menemukan sebuah potongan tiket pesawat yang seingatnya sudah mendarat di tempat sampah apartemennya beberapa hari yang lalu.

Namja itu masih menatap bingung tiket bertuliskan tangan 27 Juni 2014 itu, sedetik kemudian namja itu mendongak, dia ingat ini hari apa dan kapan dia mengalami semua kejadian ini. Tepat sebulan yang lalu, saat tanggal 27 Juni. Dan dia ingat, tanggal terakhir yang dialaminya, 27 Juli tepat sebulan kemudian. Apa mungkin dia kembali ke sebulan yang lalu? Bagaimana mungkin? Dia hampir saja tidak percaya saat melihat Jinyoung menabrak seorang pelanggan sampai menumpahkan kopi pada baju ajussi itu, persis dengan sebulan yang lalu.

“Jweoseonghamnida.. jweoseonghamnida..,” Jinyoung menunduk berkali-kali, beruntung itu kopi dingin, bukan panas.

“Aigoo~ kau ini bagaimana..! Lain kali hati-hati..!,” ajussi itu berdiri lalu kembali ke tempat duduknya dan mengambil baju dari dalam tasnya.

“Maldo andwae..,” gumam namja itu pelan sambil melihat sekeliling kafe. Namja itu langsung berdiri dan berjalan menuju keluar kafe, ke rumahnya dulu.

Beberapa menit menaiki taksi, dia sudah sampai di depan rumah yang terlihat tak terurus itu. dan benar saja, kopernya masih ada di depan pintu, tempat yang dia ingat 1 bulan yang lalu. Namja itu menyeret kopernya dan berjalan menuju ke tempat tinggal Sandeul. Dia masih ingat saat mengajak Sandeul pindah dari one-room super kecil itu yang mungkin belum pernah dialami Sandeul yang sekarang.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. aku pulang dulu ya.. gumawo,” Sandeul mengambil uang gajinya hari ini dan berjalan menuju pintu keluar, dia berniat istirahat hari ini. Entah kenapa dia malas ke supermarket hari ini.

Saat sudah ada di depan pintu rumahnya, langkahnya berhenti saat melihat namja itu berdiri di samping pintunya.

“Annyeong.. Aku Lee Sungmin, hyungmu,” namja itu membungkuk sedikit ke arah Sandeul. Sandeul hanya menatap bingung ke arahnya.

“Ne..?,” sekarang Sandeul ingat, perkataan sepupunya itu yang berkata bahwa dia masih punya hyungnya yang dulu pergi.

“Boleh aku masuk?,” Sungmin menunjuk ke arah pintu yang tepat berada disampingnya.

“Bagaimana aku tau kau benar-benar hyung atau bukan?,” Sandeul menatap aneh namja didepannya. Sungmin mengambil sebuah amplop dari dalam tasnya dan memberikannya pada Sandeul.

“Ige mwoya?,” Sandeul menerima dengan ragu, Sungmin memberi kode untuk membukanya. Sandeul membuka dan membaca kertas itu, hasil tes DNA yang menunjukkan anak kandung appa dan eommanya. Jadi namja ini benar-benar kakak kandungnya? Sandeul menatap namja itu datar lalu bergantian menatap kopernya.

“Dari mana?,” Sandeul menatap koper-koper itu bingung.

“Waktu kecil aku pindah ke Jepang dan diurus sahabat appa disana karena kurang biaya. Sekarang aku memutuskan kembali ke Korea setelah mendengar appa dan eomma meninggal..,” Sungmin menerima lagi amplop yang dikembalikan padanya dan memasukkannya ke dalam tas.

“Aku belum sempat mencari tempat tinggal, aku boleh masuk kan?,” Sungmin tersenyum lebar pada Sandeul sedangkan Sandeul mengangguk dan tersenyum ragu. Dia masih tidak percaya hyungnya yang belum pernah dilihatnya itu tiba-tiba muncul. Sebenarnya Sungmin sendiri sengaja tidak menyewa apartemen, berharap dia bisa menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada dongsaengnya. Sandeul membuka pintu dan masuk, diikuti hyungnya dari belakang lalu menutup pintu lagi.

Sandeul langsung mengambil salah satu bajunya dan masuk ke kamar mandi sedangkan Sungmin hanya menatapnya bingung lalu duduk di pojok ruangan. Dia masih ingat, sebulan yang lalu dia berjalan memutar one-room ini dan membuka-buka lemari tapi sekarang kepalanya sibuk memikirkan bagaimana dia harus menjelaskan agar tidak dikira gila oleh dongsaengnya. Tidak lama kemudian, Saneul keluar dan berjalan ke arah Sungmin. Sungmin yang tidak menyadarinya masih terus menatap kosong.

“Jogi..,” Sandeul memulai pembicaraan dengan ragu, sedangkan Sungmin yang baru sadar namja itu sudah ada di depannya menjawab dengan bingung.

“N..ne?”

“Appa.. tidak pernah cerita sama sekali kalau aku punya hyung. Kupikir aku anak tunggal. Darimana kau tau kalau kau punya dongsaeng..?,” Sandeul bertanya ragu sambil duduk di depan Sungmin. Sungmin tersenyum, sama persis dengan sebulan yang lalu.

“Tadinya aku marah dengan appa dan eomma yang tidak pernah menghubungiku saat aku di Jepang. Tapi, tepat setengah tahun yang lalu.. appa tiba-tiba menghubungiku dan setelah itu appa dan eomma juga tidak pernah menghubungiku lagi. Kemarin sahabat appa yang merawatku selama ini dapat kabar bahwa appa dan eomma meninggal         , dia memberiku sebuah surat”

“Surat..?,” Sandeul menatap penasaran ke arah hyungnya itu.

“Ne..,” Sungmin merogoh saku jaketnya dan memberikan sebuah kertas pada Sandeul.

‘Sungmin-ah..

Mianhae appa dan eomma terlalu malu untuk menghubungimu setelah menitipkanmu begitu saja pada sahabat appa. Kami bahkan tidak pernah berhubungan denganmu sama sekali, juga tidak pernah melihat fotomu saat dewasa. Tapi, sahabat appa memaksa appa dan eomma untuk melihat fotomu. Kau benar-benar tampan dan mirip dengan adikmu, kami bangga memiliki anak sepertimu.

Sungmin-ah.. mianhae baru memberitahu sekarang. Mungkin saat kau membaca surat ini kami sudah tidak ada. Tapi.. kami menitipkan Sandeul padamu. Dia adik kandungmu, biarpun kami tidak pernah memberitahunya kalau dia punya hyung. Sungmin-ah.. kami tidak tahu harus bagaimana mengucapkan maaf dan terimakasih pada sahabat appa.

Appa dan eommamu’

Sandeul menatap Sungmin tidak percaya, Sungmin hanya tersenyum ke arahnya.

“Tadinya aku bingung bagaimana bisa menemukanmu. Ternyata kau ada di kafe..,” Sandeul tidak merespon apapun, suasana mendadak hening.

“Kau sudah makan?,” Sandeul hanya menggeleng pelan menjawabnya.

“Kajja,” Sungmin berdiri, menandakan dia mengajak Sandeul berdiri dan mengikutinya.

Mereka makan di sebuah kedai ramen pinggir jalan, tempat Sandeul pernah makan bersama Gongchan. Sungmin tetap berusaha mengingat kejadian sebulan yang lalu, sebelum dia menyesali kematian namja yang sedang makan bersamanya sekarang. Entah siapa yang dengan sengaja membunuh namdongsaengnya ini. Yang dia ingat, tanggal 27 Juli namja ini ditemukan meninggal setelah kecelakaan yang diduga kasus pembunuhan. Mungkin dia kembali ke 1 bulan sebelumnya untuk mencari tahu siapa yang membunuh namja ini dan mencegah hal itu. Tempat teriakhir yang diingatnya sebelum dia kembali ke masa lalu ini adalah saat dia membuka pintu apartemennya, mungkin pintu itu berfungsi membalikkan waktu.

Flashback..

Sungmin berjalan lemas ke apartemennya setelah pulang dari rumah sakit. Dongsaengnya yang baru ditemuinya selama sebulan ini meninggal kecelakaan dan itu membuatnya menyesal tidak bisa menepati janji dengan kedua orang tuanya. Kalau ia bisa, ia ingin membalikkan waktu, ia ingin menikmati lagi semua waktunya yang singkat dengan dongsaengnya, waktu mereka berkumpul bersama sahabat Sandeul di kafe, waktu pertama kali pertemuannya dengan Sandeul yang bisa dibilang tidak berjalan dengan lancar karena sifatnya yang tidak terlalu terbuka pada orang baru, dan waktu ia memaksa Sandeul tinggal bersamanya di apartemen.

Sesampainya di apartemen, Sungmin hanya melihat sekeliling apartemen itu. Berharap namja yang sudah pergi meninggalkannya berdiri di hadapannya sambil tersenyum, biarpun dia tau itu sudah mustahil. Pada akhirnya, Sungmin hanya bisa berharap dan menghela napas. Pikirannya benar-benar kacau hari ini. Sungmin duduk di salah satu sofa dan menenggelamkan wajahnya dengan bantal. Selama di rumah sakit, dia mencoba untuk tidak menangis dan dia tidak kuat untuk menahannya lagi. Semua keluarganya sudah pergi meninggalkannya.

Saat Sungmin terbangun, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Dia tertidur di sofa ini selama 10 jam. Sungmin yang merasa perutnya sakit karena lapar memutuskan keluar apartemen, dia berjalan melewati setiap kedai makanan, entah kakinya membawanya kemana, dia hanya terus berjalan. Tiba-tiba dia berhenti di depan kafe. Kafe ini.. tempat yang paling disukainya. Sungmin menatap bingung sahabat dongsaengnya masih aktif bekerja disini, bukankah seharusnya mereka di rumah sakit? Seingatnya tadi pagi dia disuruh pulang oleh CNU dan Jinyoung. Mereka berjanji untuk terus di rumah sakit kan? Tiba-tiba pandangannya tertuju pada seorang namja yang sedang membawa kantong sampah besar di luar kafe dan namja itu berhasil membuatnya terbelalak kaget, bukankah itu Sandeul?

Flashback end..

“Hyung..,” Sandeul menatap bingung hyungnya yang melamun sambil melambaikan tangannya di depan wajah hyungnya. Sungmin yang baru tersadar langsung bingung.

“O..oh?”

“Kau tidak makan?”

“Ah.. ne,” Sungmin langsung memakan ramennya. Kapan ramen ini datang? Dia tidak menyadarinya. Beberapa menit kemudian, keduanya sudah selesai makan dan berdiri, berjalan kembali ke one-room itu.

“Kau bisa taewondo?,” Sungmin memecah keheningan diantara mereka.

“Ne..,” Sandeul menjawab sambil tersenyum tipis, teringat saat appanya mengajarkannya dan sepupunya taewondo tingkat dasar lalu dilanjutkan kursus taewondo karena keinginannya dalam bidang itu.

“Appa mengajarkanmu?”

“Ne..”

“Appa juga dulu pernah mengajarkanku.. tapi hanya tingkat dasar. Jadi aku hanya bisa sedikit,” Sungmin juga tersenyum teringat appanya mengajarkannya taekwondo dulu.

“Appa juga mengajarkanku tingkat dasar.. Karena aku tertarik, appa membawaku ke tempat kursus..”

“Kalau begitu kau harus ajarkan aku tingkat selanjutnya..!,” Sungmin menatap tidak terima ke arah Sandeul.

“Ne..?,” Sandeul hanya menatapnya bingung.

“Bercanda.. aku tidak terlalu tertarik dengan taekwondo. Aku lebih tertarik dengan kedokteran..”

“Kau dokter..?,” Sandeul menatap tidak percaya ke arah Sungmin. Sungmin menggeleng pelan.

“Iya.. kebetulan aku sudah pindah ke Korea jadi aku akan melayani di rumah sakit di sekitar sini,” Sandeul mengangguk mengerti, entah kenapa dia merasa sedikit beruntung memiliki seorang hyung Dokter. Entah apa yang dilakukan Sungmin sampai bisa jadi dokter di usia semuda itu. Setelah itu keheningan menyapa mereka lagi, Sungmin masih menunggu kehadiran Baro yang sebentar lagi datang.. itupun menurut kejadian yang pernah dialaminya. Tidak lama kemudian, seorang namja bertopi menghampiri Sandeul.

“Sandeul-ah..!”

“Baro-ya.. kenapa kau ada disini?,” Sandeul menatap namja itu bingung. Sedangkan Baro yang baru menyadari keberadaan namja yang dikiranya ‘gila’ ada di sebelah sahabatnya.

“Aku.. mau mengajakmu ke kafe. Tapi.. kau kenal dengannya?,” Baro menatap Sungmin dari atas sampai bawah, sedangkan Sandeul terlihat bingung bagaimana menjelaskannya.

“Annyeong.. aku Lee Sungmin. Hyungnya Sandeul..,” Sungmin mengulurkan tangannya pada Baro.

“Ah~ Annyeonghaseyo.. Baro imnida.. aku sahabatnya Sandeul,” Baro menyambutnya ragu. Sejak kapan Sandeul punya hyung?

“Kau mau ikut?,” Baro bertanya pada Sungmin yang menjawabnya dengan mengangguk pelan.

“Kajja,” mereka lalu berjalan ke arah kafe.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. mian..,” Gongchan bergumam lirih sambil memperhatikan fotonya bersama 4 sahabatnya sambil berbaring di tempat tidurnya. Sekarang dia harus berakting amnesia di depan mereka. Jujur, dia sangat merindukan semua temannya, saat mereka bersama-sama rebutan game di rumah Baro, saat kuenya yang gosong dimakan oleh semua hyungnya dengan alasan, ‘ini enak, tinggal dipotong bagian atasnya dan jadi bagus’, dan saat mereka bersama-sama menunggu Sandeul di rumah sakit.

“Bogoshippo.. hyung,” gumamnya lalu menaruh bingkai foto itu dan mulai memejamkan matanya, berusaha tidur dan berharap bertemu hyungnya di dalam mimpi.

~ ~ ~ ~ ~

“Wah~ kalian benar-benar mirip. Kenapa kau tidak pernah bilang kau punya hyung?,” CNU yang memperhatikan Sungmin langsung memberikan minuman sambil bertanya.

“Tadinya aku tidak tau kalau aku punya hyung. Kami baru bertemu hari ini,” Sandeul menjawabnya sambil duduk di salah satu kursi kafe.

“Aku juga baru tahu kemarin kalau aku punya dongsaeng. Jadi aku memutuskan ke Korea hari ini,” Sungmin menjelaskan kejadian yang sebenarnya sudah dia alami sebulan yang lalu.

“Mian.. tapi, umur hyung berapa?,” Jinyoung yang merasa tidak pernah melihat Jinyoung dari kecil bertanya sambil menatap Sungmin bingung.

“21 tahun..,” semua orang mengerjap tidak percaya.

“Kupikir hyung 16 tahun..,” Baro yang masih tidak percaya menatap heran ke wajah Sungmin yang memang seperti anak-anak itu, Sungmin hanya tersenyum menanggapinya.

“Kafemu belum tutup? Bukannya ini sudah malam?,” Sungmin menatap sekeliling kafe. Jam juga sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Semuanya saling berpandangan. Kafe ini sudah tutup, tadinya mereka ingin bertemu di ruang rahasianya CNU hanya untuk bermain bersama. Tapi mendapar SMS dari Baro ada hyungnya Sandeul, CNU dan Jinyoung langsung keluar dan duduk di salah satu pojok kafe dan menyalakan lagi lampunya.

“Kami sering bermain disini saat malam,” Jinyoung menjawab ragu. Sungmin hanya tersenyum, dia sudah tahu jawabannya, sekali lagi, memori itu menyapa ingatannya.

Flashback..

“Kafemu buka sampai malam ya?,” Sungmin yang masih belum terbiasa dengan sahabat-sahabat Sandeul tersenyum ragu mendapati kafe ini masih menyala terang.

“Kami sering bermain disini saat malam,” Jinyoung membalasnya ragu, Sungmin tersenyum bingung. Apa tidak takut terjadi hal yang tidak diinginkan?

“A..aku mau minum sebentar,” Baro berjalan menuju dapur. Tanpa disengaja saat dia melewati lukisan besar itu, kakinya terpeleset dan membuatnya jatuh ke arah lukisan itu. Sekarang pintu itu terbuka lebar, membuat semua orang disana bisa melihat ruangan terang berisi tangga didalamnya.

Flashback end..

“Maaf kalau aku lancang..,” Sungmin berdiri dari tempat duduknya menuju ke sebuah lukisan besar. Semua orang menatap bingung ke arah Sungmin.

“Tapi aku bisa tau kejadian sebulan mendatang..,” Sungmin mendorong lukisan itu, membuat 4 namja disana menatap Sungmin tidak percaya. Ruangan terang yang lampunya tadi lupa dimatikan oleh CNU itu terbuka. Sungmin berharap sifat kaku dulu saat bertemu dengan sahabatnya Sandeul yang menghambat pertemanan mereka tidak terulang. Dia sudah lebih mengenal mereka, lebih mudah untuknya mendekatkan diri dan mencari tahu masalah dongsaengnya yang kemungkinan membuat dongsaengnya kecelakaan.

“Kau.. peramal..?!,” Baro yang masih tidak percaya mengeluarkan kata-kata itu tanpa sadar.

“Ani.. Aku hanya tau beberapa hal dan hanya 1 bulan mendatang,” Sungmin tersenyum pada mereka, perlahan mereka mendekat ke arah Sungmin, kecuali CNU. CNU berjalan ke arah saklar dan mematikan lampu kafe, tidak lupa menguncinya.

“Kajja,” CNU mengajak mereka masuk.

“Mian.. aku boleh ikut?,” Sungmin menunjuk dirinya, tidak ingin terlihat lebih lancang dari yang tadi. Anggukan pasti dari CNU membuatnya tersenyum lebar. Mereka mulai memasuki ruangan itu dan menutup lagi lukisannya lalu berjalan menuruni tangga.

“Mian.. tadinya karena baru mengenalmu kami tidak membawa kalian ke ruangan ini. Tapi, setelah lebih mengenalmu, Kurasa kau bukan orang jahat.. Selamat datang di ruangan rahasia kami, hyung,” CNU tersenyum ke arahnya dan Sungmin juga tersenyum. Senyuman yang langsung membuat CNU teringat Sandeul. Mereka benar-benar mirip. Mereka sampai di depan pintu, CNU membukanya.

“Seleramu unik ya. Bagus..,” Sungmin yang sebenarnya sudah tau ruangan itu berpura-pura terkejut.

“Kajja. Aku mau main,” Baro berjalan di depan, diikuti CNU, Jinyoung, Sandeul, dan Sungmin. Baro langsung duduk di depan komputer, bersiap bermain. Tapi tidak ada yang duduk di komputer sebelahnya, dia hanya memutuskan bermain sendiri. Jinyoung dan CNU pergi ke dapur yang mungkin mencari cemilan. Sandeul hanya memainkan ponselnya, sedangkan hyungnya duduk sambil berpikir, menggali pikirannya sebulan yang lalu, mencoba menemukan petunjuk apapun itu, berusaha mengingat nama seseorang yang menurutnya janggal.

Flashback..

Sungmin dan Baro yang baru selesai bermain game bergabung ke CNU, Jinyoung, dan Sandeul yang duduk di sofa sambil memakan cemilan.

“Siapa yang menang?,” CNU bertanya sambil menyembunyikan bedak di belakang tubuhnya.

“Aku kalah..,” ucap Baro sambil duduk di sofa yang kosong. CNU, Jinyoung, dan Baro saling berpandangan lalu mengangguk. Baro yang tidak menyadari apapun hanya duduk sambil bersandar.

“Mwoya?,” Baro yang merasa aneh tiba-tiba mereka kecuali Sungmin mendekat ke arahnya langsung menatap mereka bingung. CNU yang memegang bedak langsung membuat wajah Baro dipenuhi bedak, Sandeul dan Jinyoung memegang tangn Baro dan pada akhirnya Baro hanya bisa tersenyum, entah kenapa dia tidak bisa kesal dengan tingkah aneh sahabatnya.

“Hahaha!,” mereka semua hanya bisa tertawa melihatnya sedangkan Baro berjalan sambil tersenyum menahan tawa ke arah toilet. Benar-benar orang ini, dan yang membuat Sungmin tidak terlalu nyaman, dia tertutup pada orang baru. Tidak menyadari kalau mereka juga tertutup pada orang baru, membuat sulit pertemanan yang sebenarnya ingin dijalin. Setelah Baro keluar dari kamar mandi, mereka hanya mengobrol biasa, seperti yang mereka lakukan beberapa hari yang lalu disini.

“Ah~ aku kangen Channie,” Baro menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Kau benar. Tapi aku tidak yakin dia benar-benar amnesia,” CNU ikut menyandarkan tubuhnya di sofa.

“Aigoo~ kalau dia benar-benar amnesia. Sahabat macam apa kita ini..?,” Jinyoung memeluk bantal yang baru direbutnya dari Baro yang sekarang mencibir kesal. Seharusnya CNU menambah jumlah bantal disini. Sofanya ada 6 kenapa bantalnya cuma 3?

“Kau kuliah jurusan apa hyung?,” Baro berusaha mengganti topik saat melihat Sungmin yang kebingungan dengan apa yang mereka bicarakan.

“Kedokteran.. Tapi boleh aku tanya siapa Channie?,” Sungmin menatap mereka satu per satu.

“Sahabat kami. Katanya dia amnesia, namanya Gongchan, Gong Chansik,” Sandeul menjawabnya sambil mengambil cemilan dan memakannya.

Flashback end..

Sungmin ingat sekarang. Gong Chansik.. nama ini yang menurutnya janggal. Sungmin berjalan ke arah Baro dan duduk di komputer sebelahnya lalu tersenyum ke arah Baro.

“Aku bosan. Boleh ikut?,” Sungmin langsung menyalakan komputer saat Baro mengangguk antusias. Pendekatannya tidak sia-sia. Setelah bermain beberapa kali, mereka bergabung ke 3 namja lainnya.

“Kau kalah ya?,” CNU menatap ke arah Baro yang mengangguk sambil langsung duduk. Sedangkan Sungmin duduk di sebelah CNU. Sungmin tersenyum penuh arti pada CNU, seakan tahu semua rencananya, CNU tersenyum membalasnya sambil menuangkan bedak di tangan Sungmin selagi Baro tidak melihat. Mereka mulai berjalan ke arah Baro. Sandeul dan Jinyoung memegang Baro sedangkan CNU dan Sungmin melumuri wajahnya dengan bedak setelah itu mereka semua tertawa puas, kecuali Baro yang hanya senyum senyum penuh arti.

“Hyung kau kejam sekali~,” Baro menatap Sungmin yang tertawa puas.

“Mianhae~,” Sungmin menjawabnya asal sambil terus tertawa. Baro berjalan menuju toliet, tidak lama kemudian keluar lagi dengan wajah yang lebih bersihlalu duduk diantara Sandeul dan Jinyoung.

“Boleh aku tanya sesuatu pada kalian?,” Sungmin memulai pembicaraan.

“Tentu saja. Kau mau bertanya apa, hyung?,” Baro yang duduk berhadapan dengan Sungmin langsung bertanya balik.

“Aku cuma mau tanya, Gongchan itu siapa?,” semua orang saling bertatapan, darimana Sungmin tahu nama itu? Terutama Sandeul, dia tidak pernah menyebut nama Gongchan hari ini.

“Gong Chansik.. anak yang amnesia itu sebenarnya siapa?,” Sungmin memperjelas pertanyaannya tapi membuat mereka tambah bingung. Orang ini benar benar bisa meramal?

“Dia sahabat kami dulu. Tapi, semenjak dia amnesia, dia tidak pernah lagi mau bermain dengan kami. Sifatnya berubah drastis..,” Jinyoung menjelaskan  dengan jelas.

“Dia satu kelas denganku dan Sandeul..,” Baro melanjutkan perkataan Jinyoung.

“Kami bersahabat dengannya sejak 3 tahun yang lalu,” CNU melanjutkan lagi sedangkan Sandeul tetap diam, tidak berniat memberitahu apapun.

“Ah~ mian kalau kalian jadi harus membicarakannya karena pertanyaanku..,” Sungmin tersenyum ragu.

“Ani.. gwaenchana. Sosialisasimu bagus, hyung. Aku merasa seperti sudah kenal lama denganmu,” Baro tersenyum sambil menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Tentu saja bagus, Sungmin sudah mengenal mereka sejak 1 bulan yang lalu.

“Gumawo,” Sungmin tersenyum ke arah Baro.


To Be Continue