Author :
Park Je Won
Title :
Stay Away
Main Cast :
B1A4
Other Cast :
You can find.. :D
Legth :
Part
Genre :
Friendship, Family, Brothership
Note :
Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan
otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini
asli milik author.
Part 1 : The Murderer is My Uncle
Anak itu baru terbangun dari komanya. Sudah seminggu sejak
kejadian itu terjadi. Ia membuka kelopak matanya perlahan dan sinar lampu
langsung memasuki matanya, memaksanya untuk memejamkan mata lagi dan
melanjutkan mimpi buruknya. Padahal, barusan mimpi yang seperti CD kejadian
kematian kedua orangtuanya berputar di kepalanya. Dia masih ingat betul
kejadian itu.
Flashback..
“Eomma.. Appa..,” anak
itu bergumam pelan saat pintu kamarnya ditutup rapat oleh eomma dan appanya,
lebih tepatnya setelah mendengar suara ketukan pintu yang kasar dari luar
rumah.
“YA! CEPAT BUKA!!”,
terdengar suara teriakan seorang namja dari luar. Suara itu terdengar sampai
telinga anak yang masih menatap pintu itu. Anak itu memutuskan untuk pergi ke
toilet yang ada di kamarnya dan membasuh wajahnya dengan air lalu melihat
pantulan wajahnya dari cermin berbingkai kayu bercat putih di hadapannya.
Setelah beberapa saat diam, akhirnya anak itu memutuskan untuk keluar dari
toilet dan mengintip dari balik pintu bercat putihnya, mengnintip ke ruang tamu
yang tepat di depan kamarnya.
Tapi, peristiwa sadis
dihadapannya membuat matanya terbelalak. Seorang ajussi menusuk-nusuk dada appanya
beberapa kali, sedangkan eommanya sudah terbaring di lantai, entah pingsan atau
sudah meninggal. Sebenarnya dia bisa saja menghajar ajussi itu dengan jurus
taekwondo yang diajarkan ayahnya, tapi tubuhnya yang sudah terlanjur bergetar
memaksanya untuk tidak bisa bergerak sedikitpun. Setelah puas menusuk-nusuk
appanya, ajussi itu menusuk-nusuk eommanya, merasa seperti ada yang
memperhatikan, ajussi itu menengok ke arah kamar anak itu, refleks anak itu
menjauh dengan wajah pucat. Masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya
barusan. Ajussi itu... pamannnya sendiri. Paman yang sering bermain dengannya
dan merawatnya saat dia kecil.
“Siapa disana? Cepat
keluar atau kau akan mati juga!!,” setelah berkata begitu, terdengar suara
langkah kaki mendekat ke arah kamar anak itu. Anak itu semakin panik, tanpa
pikir panjang, dia langsung melompat keluar dari jendela yang terbuka dan
berlari dengan kencang. Tapi, sayangnya sebuah mobil yang melaju dengan cepat
menabaraknya saat anak itu masih berlari, berusaha menghindari ajussi itu.
Mobil itu menabrak keduanya.
Flashback end...
“Kau sadar?,” terdengar suara saat mata anak itu terbuka
dengan baik. Anak itu melirik ke arah seorang suster yang barusan berbicara
dengannya. Tidak lama kemudian, seorang dokter masuk dan memeriksa anak itu.
“Keadaanmu membaik. Tadinya kami kawatir kau akan koma kalau
belum sadar juga..,” Dokter itu berkata sambil tersenyum ke arah anak yang
manatap ke arahnya.
“Jogi.. ajussi yang tertabrak bersamaku hidup atau mati?,”
anak itu memutuskan bertanya, meskipun suaranya terdengar serak.
“Tidak usah kawatir.. dia meninggal,” sepertinya Dokter itu
tahu cerita yang sebenarnya. Baguslah kalau begitu. Setidaknya dia sudah lega
mendengar pembunuh orangtuanya meninggal juga.
“Kalau keadaanmu semakin membaik, minggu depan kau bisa
pulang,” sepertinya bagus kalau keadaannya membaik, minggu depan itu tepat hari
pertamanya masuk SMA.. setidaknya biarpun dia tidak berniat untuk sekolah lagi,
dia tidak mungkin melepas uang yang sudah dikeluarkan orangtuanya untuk mendaftar
di sekolah itu dan dia masih ingat orangtuanya yang
selalu menyuruhnya untuk
tidak bolos sekolah.
~ ~ ~ ~ ~
Seorang namja berjalan dengan seragam sekolah yang berwarna
putih bersih menuju sekolah barunya. Hari ini hari pertama masuk SMA. Setelah
lulus dengan nilai lumayan, namja itu sedikit mendapat diskon untuk biaya
sekolahnya. Semua murid terlihat senang ketika memasuki gerbang sekolah itu,
tapi tidak dengan namja itu. Wajahnya murung, juga memandang tajam siapapun
yang ada atau berdiri di dekatnya, membuat orang-orang menjauh darinya.
Kondisinya yang belum stabil, mengingat baru kemarin malam
dia keluar dari rumah sakit dan menyewa sebuah one-room membuat wajahnya pucat
dan terlihat agak mengerikan bagi yang barusan ditatap menakutkan oleh namja
itu. Kejadian itu terus berputar dikepalanya setiap malam, seperti CD yang
sudah dipasang timer dan membangunkannya setiap beberapa jam saat dia tertidur.
Pamannya yang sangat dekat dengan keluarganya saja berani berbuat seperti itu,
apalagi orang lain yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali dengannya?
Dan
sekarang, sifatnya membuat teman yang dulu dekat dengannya perlahan menjauh,
bahkan beberapa terlihat ketakutan saat baru menyapa namja itu.
“Sandeul-ah annyeong!!,” seorang namja yang memakai topi
bergambar tupai berlari mendekatinya dan mengalungkan tangannya di leher namja
itu. Sedangkan namja itu menatap tajam
Baro, namja bertopi yang barusan menyapanya.
“Eoh? Wajahmu kenapa? Kau sakit??,” sangat tidak peka.. tiga
kata itu cocok dengan Baro yang malah memandang sahabatnya kawatir, sedangkan
orang lain yang sudah ditatap mengerikan oleh namja itu malah menatap Baro
dengan kawatir. Satu detik kemudian, namja itu melepas tangan Baro dengan kasar
dan berjalan menjauh dari Baro yang masih menatap bingung pada temannya itu.
“Apa dia salah minum obat?,” Baro bergumam bingung sambil
lanjut berjalan dibelakang namja itu, mengingat tatapan mengerikan yang
diberikannya sekitar satu menit yang lalu itu terlihat seperti pembunuh yang
akan memulai aksinya. Beberapa sahabat Sandeul yang juga bersahabat dengan Baro
akhirnya mendekati Baro yang berjalan beberapa meter di belakang Sandeul dan
membicarakan hari pertama masuk sekolah ini.
~ ~ ~ ~ ~
“Baiklah.. sekarang penentuan pengurus kelas,” Kim
sonsaengnim wali kelas mereka menulis beberapa nama yang akan menjadi calon
pengurus kelas.
“Sekertaris.. siapa diantara nama-nama ini yang memiliki
tulisan jelas dan cepat?,” Kim sonsaengnim bertanya sambil tersenyum, senyum
yang manis untuk ukuran seorang yeoja.
Setelah beberapa saat berkata begitu,
kelas menjadi riuh, beberapa orang yang ditunjuk oleh teman-temannya akhirnya
maju. Lalu mereka menulis beberapa kata yang disuruh Kim sonsaengnim, untuk melihat
tulisan masing-masing anak.
“Namamu siapa?,” Kim sonsaengnim mendekati seorang namja
yang tulisannya lumayan rapi. Setidaknya daripada murid namja lainnya, dia yang
paling rapi..
“Cha Sunwoo.. Dipanggil Baro,” anak itu menjawab sambil
tersenyum.
“Kau jadi sekertaris ya?,” Baro mengangguk menyetujui.
Setelah itu murid lainnya kembali ke tempat duduknya dan dia disuruh menulis
lagi nama calon ketua kelas mereka.
“Baiklah.. Jung Jinyoung, Lee Junghwan, Shin Dongwoo ada
disini?,” semua murid memandang ke seluruh penjuru kelas. Hanya ada 1 tangan
yang terangkat. Semua murid saling berpandangan satu sama lain. Sedangkan Kim
sonsaengnim tersenyum, setidaknya diantara 3 juara dari 1 sekolah ada salah
satu yang masuk ke kelasnya.
“Namamu siapa?,” Kim sonsaengnim masih bertanya sambil
tersenyum pada anak yang duduk sendiri di bangku pojok belakang.
“Sandeul,” Kim sonsaengnim agak bingung saat melihat namja
yang bernama Sandeul itu mengacungkan tangannya sambil menatapnya tajam,
padahal nama Sandeul tidak disebutnya tadi.
“Saem.. namanya Lee Junghwan, dipanggilnya saja Sandeul,”
Kim Sonsaengnim yang mendengar penjelasan dari Baro baru mengerti dan mengangguk
sambil membentuk ‘O’ di mulutnya.
“Sandeul-ssi.. kau jadi ketua kelas ya..?,” namja yang
ditanya hanya memandang tajam.
“Saem.. mungkin dia salah obat, dulu waktu SMP dia tidak
seperti itu,” Baro berbisik lagi di dekat Kim sonsaengnim. Sedangkan Kim Sonsaengnim
menunjukkan reaksi yang sama seperti tadi.
“Baiklah.. ketua kelas Lee Junghwan..,” setelah Kim
sonsaengnim berkata begitu, semua siswa terkejut mendengarnya. Ketua kelas
mereka misterius begitu? Mau jadi apa kelasnya nanti? Akhirnya Baro menulis nama
sahabatnya itu di papan tulis.
“Selanjutnya bendahara..,” Kim sonsaengnim membolak-balik
catatan nilai, mencari yang memiliki nilai matematika tertinggi. ‘lagi-lagi
namja’ batin Kim Sonsaengnim saat melihat nama dan foto seorang namja dengan
rata-rata nilai matematikanya 99,2.
“Gong Chansik..,” seorang anak menatap ke arah Kim
sonsaengnim, wajah yang sama dengan foto bertuliskan Gong Chansik. Kim
sonsaengnim hanya tersenyum melihat anak itu yang juga tersenyum padanya.
Sepertinya kelasnya tahun ini akan populer di kalangan yeoja.. banyak namja
tampan yang masuk ke kelasnya, apalagi mereka semua itu pengurus kelas yang
sudah pasti pintar. Biarpun misterius, tapi wajah si ketua kelas itu juga bisa
dibilang tampan.
~ ~ ~ ~ ~
“Nah.. hari ini hanya menentukan anggota pengurus kelas dan
jadwal pelajaran.. besok baru mulai belajar,” setelah berkata begitu, bel
berbunyi dan ketua kelas mereka yang baru menyiapkan. Semua siswa bersiap
pulang, termasuk Sandeul yang berdiri dari kursinya dan memakai tas ranselnya, bersiap
pulang ke kamar one-roomnya lagi dan mengurus data serta uangnya. Belum lagi
dia harus mencari kerja part-time untuk membayar sekolah dan sewa kamarnya.
“Sandeul-ah.. mau pulang bareng?,” Baro yang memang rumahnya
searah dengan rumah Sandeul yang lama itu mengajaknya pulang bersama, apalagi setelah
melihat Sandeul yang diam seharian tanpa senyum sedikitpun. Padahal biasanya
dia menyapa setiap orang yang lewat dihadapannya, mengajaknya ngobrol dan
tersenyum tulus. Tapi hari ini Sandeul hanya berlalu melewatinya tanpa berkata
apapun.
“Ya! Kau marah? Wae?,” Baro berteriak cukup kencang, tapi
tidak dihiraukan sama sekali oleh namja yang sudah berjarak 3 meter didepannya.
“Hyung..,” Gongchan mendekati Baro yang baru akan mengejar
Sandeul.
“Wae?,” Baro menjawab sambil melihat ke arah Gongchan.
“Dari pagi Sandeul hyung aneh, biarkan saja.. mungkin sedang
ingin sendiri..,” akhirnya Baro mengangguk dan berjalan ke gerbang sekolah
bersama Gongchan.
“Eoh? Kenapa namja itu ke kanan? Bukannya rumahnya dikiri?,”
Baro melihat Sandeul yang sudah berjalan sekitar 10 meter dari arah kanan di
hadapannya mengerutkan dahinya heran.
“Pindah mungkin?,” Gongchan menjawab asal. Tidak lama
kemudian, dia sudah dijemput dan tinggal Baro yang akan berjalan ke arah kiri,
ke rumahnya.
“Baro-ya!!,” terdengar suara Jinyoung yang berteriak sambil
mengatur napasnya.
“Eoh? Jinyoung hyung? Kukira kau sudah pulang.. tidak
dijemput?,” Baro yang bingung melihat salah satu sahabatnya berlari
menghampirinya dan berjalan disebelahnya, padahal biasanya dia pulang cepat
karena dijemput.
Jinyoung mengangkat tangan kanannya, mengisyaratkan Baro
untuk memberinya waktu untuk mengatur napas sejenak.
“Hyung tidak bisa menjemput, katanya dia ada urusan mendadak..
tapi mana Sandeul? Bukannya dia pulang bersamamu..?,” Jinyoung yang sudah
selesai mengatur napasnya menjawab pertanyaan Baro yang tadi belum sempat
dijawabnya dan bertanya.
“Dia tidak bicara sama sekali.. Entahlah, tapi sepertinya
dia pindah rumah,” Baro menengok kebelakang. Sudah tidak terlihat lagi tubuh
Sandeul yang tadi berjalan menjauh.
~ ~ ~ ~ ~
“Ajumma.. boleh aku bayar setengahnya dulu? Aku belum dapat
pekerjaan..,” seorang anak yang memberikan setengah dari uang sewa kamar.
Ajumma itu memandang kasihan anak yang masih berbicara tanpa ekspresi.
“Ne.. gwaenchana.. pasti sulit sekolah sambil bekerja.. aku
mengerti,” setelah mengambil uang itu, ajumma itu pergi berlawanan arah dengan
anak itu. Anak itu pergi lagi menuju kafe dekat one-roomnya dan meminta
pekerjaan. Beruntung ajussi itu juga sedang membutuhkan karyawan, biarpun hanya
part-time.
“Kau bisa mulai hari ini,” namja itu membungkuk sopan dan
berdiri, berniat memulai kerjanya hari ini.
“Lee Sandeul..?,” seorang namja memanggilnya, membuat
Sandeul tersentak dan berbalik untuk melihat siapa yang memanggilnya.
“Kau kerja disini?,” Sandeul menghiraukan CNU dan berlalu
begitu saja.
“Kau mengenalnya?,” ajussi itu berdiri menghampiri CNU yang
masih menatap punggung Sandeul yang sudah sekitar 5 meter dihadapannya.
“Ne.. dia sahabatku tapi entah kenapa sifatnya aneh hari
ini.. Ah, dia kerja sebagai apa?”
“Pembuat kopi.. nanti kau ajarkan ya.. tadinya kupikir jadi
pelayan cocok, wajahnya lumayan.. tapi sepertinya sosialisasinya kurang jadi
aku menyuruhnya membuat kopi,” CNU agak aneh mendengar kata ‘sosialisasinya
kurang’ padahal biasanya namja itu cerewet, persis bebek.
“Ne.. nanti kuajarkan..,” CNU berlalu meninggalkan pemilik
kafe itu dan menghampiri Sandeul yang ada di ruang ganti.
“Sandeul-ah.. kalau sudah selesai langsung ke dapur,”
setelah berkata begitu, CNU langsung menuju dapur dan menyiapkan beberapa gelas
kopi. Tidak berapa lama, seorang namja berwajah pucat membuka pintu dapur dan
memasukinya.
“Kau kerja sambilan? Untuk menambah uang jajan?,” CNU
bertanya sambil menatap Sandeul yang balas menatapnya tajam.
“Wae? Kau ada masalah apa sih?,” CNU bertanya lagi sambil
bersandar di dinding dapur sedangkan namja yang ditanya masih menatapnya tajam,
membuat bulu kuduk CNU berdiri sempurna.
“Baiklah, sini aku ajarkan cara membuat kopi,” CNU akhirnya
mendekat ke mesin kopi dan mengajarkan cara membuat kopi ala ayahnya.
“Jangan sampai salah ya.. waktunya juga dihitung, itu yang
penting dari caranya appa,” CNU lalu menekankan lagi yang penting dan menyuruh
Sandeul membuatnya sendiri. Ah, cepat juga Sandeul belajarnya. Sekali
dijelaskan langsung hafal semua. Baiklah tugasnya selesai sekarang.
“Kau kenapa? Semuanya mengkawatirkanmu..,” CNU memulai
pembicaraan saat Sandeul sedang memperhatikan jam tangannya, menunggu waktu
yang tepat untuk menuang krim kopi itu.
Beberapa detik hening. Pertanyaan CNU dihiraukan oleh
Sandeul. Setelah waktunya cukup, Sandeul menuangkan krim itu ke kopi dan
memberikannya pada CNU. CNU mencicipinya dan mengangguk.
“Kau cepat bisa ya.. Ini enak.. kalau begitu kau buat 3
porsi untuk meja nomor 5.. nanti berikan padaku diluar,” CNU berjalan keluar
meninggalkan Sandeul dan beberapa karwayan lainnya yang juga sedang membuat
kopi.
~ ~ ~ ~ ~
“Hyung~,” Baro memanggil CNU yang berjalan beberapa meter
didepannya. CNU menoleh padanya dan menghentikan langkah kakinya.
“Baro-ya!,” CNU diam
ditempatnya, menunggu Baro menghampirinya.
“Hyung.. aku masih bingung dengan Sandeul.. tadi pagi aku
melihatnya masih sama dengan sifatnya kemarin.. apa terjadi sesuatu? Apa kita
membuat kesalahan?,” Baro bertanya dengan wajah penasaran.
“Entahlah.. kemarin dia bekerja di kafe appaku. Waktu
kutanya juga dia tidak menjawab apapun..,” CNU lanjut berjalan menuju kelasnya,
disebelah kelas Baro dan Sandeul.
“Ya! Lee Sandeul!,” Baro berteriak saat melihat Sandeul yang
berjalan berlawanan arah dengan mereka itu tidak bergeming sama sekali. Setelah
Baro berteriak seperti itu, namja itu melirik ke arah Baro dengan tajam sambil
terus berjalan.
“Bocah itu..,” Baro menggerutu melihat tidak ada reaksi
apapun dari Sandeul.
“Apa dia sakit? Wajahnya masih pucat.. kemarin juga dia
bekerja sampai malam di kafe.. seperti untuk membiayai hidup saja, bukan
menambah uang jajan..,” CNU asal berbicara lalu masuk ke dalam kelasnya dan
duduk disebelah Jinyoung yang sedang menyalin catatan. Dengar-dengar katanya dia
jadi ketua kelas.
Baro masih diam, memikirkan kata-kata CNU. Membiayai hidup
katanya? Tapi, kalau dipikir-pikir, selama liburan dia sering ke rumah
Sandeul.. tapi rumahnya selalu kosong, tidak ada siapapun disana. Akhirnya Baro
memutuskan untuk memasuki kelasnya dan menaruh tasnya.
Tidak lama kemudian, Kim sonsaengnim masuk ke kelas mereka
dan melihat ke sekeliling kelas.
“Dimana Sandeul dan Gongchan?,” Kim sonsaengnim mengerutkan
keningnya melihat tas mereka ada, tetapi tidak ada orangnya.
~ ~ ~ ~ ~
Gongchan mengikuti Sandeul yang terus berjalan di lorong
sekolah. Dia melihat ke arah jam tangannya.
“Ini kan sudah jam masuk.. apa yang Sandeul hyung lakukan
disini..?,” gumam Gongchan pelan. Sandeul terus berjalan sampai ke atap
sekolah. Entah apa yang akan dilakukannya disana. Gongchan hanya bisa berharap
hyungnya tidak berlari dan terjun, mungkin itu mustahil dilakukan oleh seorang
Lee Sandeul. Tapi, mengingat keadaan Sandeul selama 2 hari ini, itu bukanlah
hal yang mustahil lagi. Gongchan memutuskan untuk mengintip, dia bisa bernapas
lega sekarang. Sandeul hanya duduk di atap sambil mendengarkan lagu dari
iPodnya. Setelah beberapa menit, Gongchan melihat lagi ke jam tangannya.
Pelajaran pertama sudah dimulai 15 menit yang lalu. Akhirnya dia memutuskan
untuk menghampiri Sandeul.
“Hyung.. ayo kembali ke kelas. Kelasnya sudah mulai 15 menit
yang lalu,” Sandeul hanya memandang tajam ke arah dongsaengnya itu lalu
beranjak sambil menghela napas kasar lalu berjalan ke arah pintu, memasuki
gedung lagi dan turun menuju kelas mereka. Diikuti Gongchan dibelakangnya.
Sandeul membuka pintu kelas. Sekarang seluruh isi kelas
menatap ke arahnya. Sandeul hanya membungkuk ke arah Choi sonsaengnim, guru
seni mereka.
“Ya! Darimana kau?!,” Choi sonsaengnim yang tidak terima
hanya membungkuk seperti itu mengomel sebelum Sandeul beranjak dari tempatnya.
Sandeul masih berdiri di tempatnya.
Satu detik kemudian, Gongchan masuk dan
membungkuk 90o pada Choi sonsaengnim.
“Jeoseonghamnida.. aku meminta tolong Sandeul hyung
menemaniku.. tadi kami tersesat,”
Gongchan menjelaskan sambil tersenyum.
“Ck.. duduk sana. Lain kali kalau kalian terlambat lagi
harus bernyanyi sambil menari di depan kelas,” Sandeul dan Gongchan duduk
ditempat masing-masing. Choi sonsaengnim melanjutkan pelajaran yang sempat
tertunda.
“Sekarang.. coba bernyanyi.. mulai dari..,” Choi sonsaengnim
membolak-balik nilai menyanyi siswa kelas ini.
“Lee Junghwan?,” Sandeul berdiri dari tempat duduknya.
“Ah kau yang bernama Junghwan.. Baiklah, Junghwan-ssi maju
dan bernyanyilah..”
“Panggil Sandeul saja,” setelah berkata begitu, Sandeul maju
dan mulai bernyanyi. Dia masih ingat, orang yang memberinya nama Junghwan..
pamannya. Dan panggilan Sandeul yang dibuat oleh tetangganya dulu saat dia
masih kecil, yang juga teman pertamanya.. Jung Jinyoung. Sekarang satu kelas
yang belum mengenal Sandeul menatap namja itu tidak percaya. Namja yang
misterius seperti itu memiliki suara seperti malaikat? Wah~ suaranya
benar-benar membuat semua orang tenang..
“Ah.. duduklah,” selesai menyanyi dan terdengar suara tepuk
tangan yang riuh, Choi sonsaengnim yang tanpa sadar tersenyum itu menyuruh
Sandeul untuk duduk.
~ ~ ~ ~ ~
Jinyoung yang mendengar suara sahabatnya itu bernyanyi dari
kelas sebelah tersenyum. Suara yang benar-benar enak didengar. Hal itulah yang
paling disukainya dari sahabatnya itu.
“Sandeul bernyanyi..,” CNU memecah keheningan diantara
mereka. Setelah guru mereka yang tiba-tiba pergi sambil berlari itu menghilang,
satu kelas tidak ada yang belajar. Semuanya mengobrol dengan teman baru mereka.
“Iya.. suaranya benar-benar membuatku tenang,” Jinyoung
menyahut asal sambil tersenyum lagi.
“Aku bingung..,” Jinyoung memandang CNU, seolah bertanya
‘kenapa?’.
“Namanya Lee Junghwan.. atau Sandeul? Siapa yang memberinya
nama Sandeul..,” CNU bergumam lagi. Jinyoung menjawabnya dengan enteng.
“Aku yang memberinya nama Sandeul..,” kini giliran CNU yang
memandangnya penuh tanda tanya.
“Waktu kecil, aku tetangganya. Dia bilang aku ini teman
pertamanya, makanya untuk kenang-kenangan aku memberinya nama. Semenjak itu aku
selalu memanggilnya Sandeul, diikuti orangtuanya sampai semua orang dia minta
untuk memanggilnya Sandeul. Katanya biar dia tidak lupa,” Jinyoung mengenang
saat itu. Saat pertemuan pertamanya dengan anak bernama Lee Junghwan yang dia
beri kenangan berupa nama Sandeul.
“Jadi begitu.. memangnya arti Sandeul apa?,” CNU
menganggukkan kepalanya mengerti.
“Pertama kali bertemu, kurasa kepribadiannya itu seperti
angin saja. Makanya jadi Sandeul,” Jinyoung menjawabnya lagi dengan enteng.
Kemudian hening.. CNU sibuk dengan merapikan buku sedangkan Jinyoung masih
sibuk mengenang masa lalunya.
“Aku agak kesal dengan sifatnya dari kemarin. Selalu
memandang orang lain dengan sinis.. benar-benar bukan Sandeul yang kukenal..,”
Jinyoung yang bergumam kali ini. CNU memandang ke arahnya dan memandang keluar
jendela. Disana ada kelas Sandeul dan Baro, kelas mereka berseberangan.
Terlihat Sandeul yang duduk sendiri di bangku pojok paling belakang.
“Aku juga.. anak itu benar-benar berubah.. entah apa yang
membuatnya begitu. Yang jelas sekarang dia kerja sambilan di kafe appaku..,”
CNU menyahut pelan. Kali ini Jinyoung menatap CNU bingung.
“Kerja sambilan? Menambah uang jajan?”
“Entahlah.. dia kerja sampai malam, seperti bukan hanya
untuk menambah uang jajan,”
Jinyoung merenungi kata-kata CNU barusan. Anak itu
benar-benar pindah rumah ya..
~ ~ ~ ~ ~
“Sandeul-ah! Kami sudah mau tutup.. ini gajimu,” CNU
menghampiri Sandeul yang sedang menyapu lantai kafe. Sandeul mengambil gajinya
dan bersiap ganti baju lalu kembali ke kamar one-roomnya dan membayar setengah
sisa uang sewa kamarnya. Yah, biarpun begitu dia belum makan dari tadi siang
dan sekarang jarum pada jam dinding berwarna putih itu sudah menunjukkan pukul
9 malam.
“Kau pindah rumah ya?,” CNU bertanya sambil menyesuaikan
langkahnya dengan Sandeul yang berjalan menuju pintu kafe. Sandeul hanya
menjawabnya dengan menatap CNU, seperti mengatakan ‘bukan urusanmu’. CNU hanya
menghela napas melihatnya dan berdiri di depan pintu kafe, memperhatikan
sahabatnya yang sudah berjalan keluar kafe.
“Anak itu..,” CNU menengok ke arah appanya yang tiba-tiba
berdiri disebelahnya.
~ ~ ~ ~ ~
“Ah.. gumawo,” ajumma itu tersenyum ke arah Sandeul yang
menyerahkan uang sewa kamar untuk seminggu kedepan.
“Kau sudah makan?,” ajumma itu bertanya saat Sandeul ingin
berbalik masuk ke kamarnya. Sandeul hanya menatap ajumma itu dan mengangguk
ragu.
“Makanlah yang banyak.. kau terlihat lebih kurus sekarang,”
setelah berkata begitu, ajumma itu berbalik pergi dan Sandeul memasuki
kamarnya. Sandeul membuka bungkus ramen yang tadi dibelinya saat mampir ke
minimarket lalu memasaknya dan memakannya.
Tidak lama kemudian setelah dia menghabiskan ramennya, HPnya
berbunyi, menandakan ada panggilan masuk. Sandeul mengambil HPnya dan melihat
nama penelepon, tertera ‘Baramji’. Baro yang meneleponnya. Sandeul menggeser
tombol berwarna merah di HP nya, me-reject panggilan Baro.
~ ~ ~ ~ ~
Baro sedang duduk di atas kasur menelepon Sandeul, ingin
memastikan anak itu sudah tidur atau belum. Baro mengerutkan alisnya saat
mendengar nada sibuk yang didengarnya dari telepon genggamnya. Ternyata belum
tidur ya..
“Ck.. bocah ini kemana sih..,” Baro membanting ponsel itu ke
kasurnya yang empuk lalu merebahkan dirinya disebelah ponsel itu. Baro melirik
ke arah jam dinding birunya yang ada di atas tempat tidur. Pukul 10 malam. Apa
yang anak itu lakukan semalam ini?
Paginya...
“Eomma.. aku pergi dulu!!,” Baro berpamitan pada eommanya
sebelum pergi ke rumah Sandeul yang lama.
“Kemana kau pagi-pagi begini?”
“Olahraga,” setelah mendapat izin, Baro langsung berlari
menuju rumah Sandeul.
Beberapa saat kemudian, dia sampai. Rumahnya gelap. Semua
lampunya dimatikan. Akhirnya Baro memutuskan untuk bertanya pada tetangganya.
“Annyeonghaseyo..,” Baro membungkuk hormat saat seorang
namja yang berusia sekitar 27 tahun keluar sambil menguap.
“Nuguseyo?”
“Ah.. maaf mengganggu. Aku ingin bertanya pemilik rumah
disana kemana?,” setelah Baro bertanya begitu, ekspresi namja itu berubah
bingung.
“Kau yang sering kesana itu kan? Kau tidak tau?”
“Kalau aku tau aku tidak mungkin terus datang kesana..,”
Baro tersenyum canggung.
“Pemilik rumahnya dibunuh dan anaknya kecelakaan. Aku tidak
tau sekarang kemana anak itu..”
Mata Baro membulat. Kecelakaan? Pembunuhan? Apa maksudnya
itu?
“Itu sih yang kudengar.. Dan saat hari kejadian itu kulihat
pamannya yang memasuki rumah itu..”
“Ah.. kamsahamnida..,” Baro membungkuk sopan lalu berjalan
sambil menatap rumah itu. Jadi
Sandeul begitu karena hal ini? Kenapa sahabatnya
itu tidak pernah cerita apapun padanya.
“Ah~ sahabat macam apa aku ini? Teman kecelakaan malah tidak
tau sama sekali..,” Baro bergumam sambil terus berjalan kearah kafe CNU.
Bukankah Sandeul kerja disana? Yah.. mungkin ini kesempatan bagus untuk
menanyainya.
Saat Baro berniat menyeberang jalan, sebuah sepeda lewat
tepat 5 cm didepannya.
“YAA!,” Baro berteriak kesal. Hampir saja kakinya terlindas
roda sepeda pengantar susu dan koran itu. Namja yang mengendarai sepeda itu
menengok asal ke arah Baro dan sedikit membungkuk minta maaf lalu kembali fokus
pada jalan didepannya. Baro terpaku sesaat. Bukannya itu Sandeul? Kok mengentar
susu dan koran? Lalu kafe appanya CNU?
Baro lalu memutuskan untuk terus berjalan menuju kafe
appanya CNU. Dan satu hal yang membuatnya bingung. Saat ini ia sudah ada di
depan pintu masuk. Anehnya, dia melihat Sandeul yang sedang berjalan ke arah
dapur. Baro lalu menghampiri CNU yang ada di depan kasir.
“Hyung..,” Baro memanggil CNU yang sedang sibuk dengan
kertas bertuliskan pesanan kopi.
“Eoh? Kau datang.. mau minum apa?,” CNU masih sibuk
memperhatikan kertas itu, tidak menengok sedikitpun ke arah Baro.
“Aku mau coklat panas saja..,” kali ini CNU melihat ke arah
Baro.
“Duduklah dulu.. nanti aku kesana”
Baro berjalan menuju meja di dekat pintu dapur dan duduk di
kursinya. Dia masih memperhatikan Sandeul yang sesekali keluar dapur untuk
mengambil bahan kopi. Pakaiannya sama seperti tadi pagi.. berarti yang tadi
pagi itu benar Sandeul kan? Lalu kenapa cepat sekali dia sampai kesini?
“Baro-ya..,” CNU duduk di depan Baro sambil menaruh segelas
coklat panas di atas meja.
“Hyung.. Sandeul baru datang?”
CNU melihat sepintas ke arah Sandeul.
“Hampir bersamaan denganmu.. Wae?”
“Kau tau tidak kalau dia mengantar susu dan koran?”
“Mwo? Jinjjayo? Dia kemanakan gaji kafe?,” CNU membelalakkan
matanya. Apa kurang gaji dari kafe? Dia kan kerja sampai malam, jadi gajinya
juga besar.. masa kurang untuk uang jajan? Seperti membayar kontrakan saja..
Tepat saat Baro ingin membuka mulutnya lagi, Sandeul muncul
dari balik dinding. Sepertinya dia habis cuci tangan. CNU dan Baro yang
melihatnya langsung menatap Sandeul terkejut.
“CNU-ssi, Baro-ssi.. mau kuapakan uangku itu terserah aku.
Jangan ikut campur.. dan anggap saja kita tidak saling kenal. Kalau kalian
kesal padaku, anggap saja aku sampah yang pantas dibuang. Mengerti?,” setelah
berbicara tanpa jeda, Sandeul berlalu begitu saja. CNU masih terkejut dengan
cara bicara Sandeul. Kalau bicara tanpa jeda memang sering, tapi dengan nada
datar dan tatapan yang seperti itu tidak bisa dikatakan normal.. ah, dia lupa
memang dari kemarin Sandeul kurang normal.. bahkan bocah itu memanggil mereka
dengan akhiran ‘–ssi’. Berbeda dengan CNU, Baro langsung berdiri dan membalas
ucapan Sandeul, beruntung kafe sedang sepi dan mereka berada di pojok.
Setidaknya tidak terlalu membuat keributan.
“Aku mengerti.. Aku minta maaf karena aku tidak menjengukmu
saat kau dirawat karena kecelakaan. Dan maaf aku baru bisa mengucapkannya
sekarang, tapi aku turut berduka dengan kematian orangtuamu..,” Sandeul yang
tadinya berjalan dengan cepat langsung berhenti saat Baro mengucapkan ‘kematian
orangtuamu’. Seketika, CD itu terputar lagi diotaknya. Entah kenapa, sekarang
dia benar-benar menyesal memiliki otak yang sulit melupakan sesuatu. Tangannya
terkepal menahan kesal. Kenapa dia harus lari saat itu? Seharusnya dia juga
minta dibunuh.. Tapi detik berikutnya dia langsung berjalan cepat menuju dapur.
“Jangan lupa, kami itu sahabatmu. Tidak akan
menghianatimu!,” Baro berteriak agak keras, membuat beberapa pengunjung yang
mendengarnya menengok ke arahnya. Dua detik berikutnya, Baro duduk kembali dan
menatap gelas coklat panasnya yang mulai mendingin karena udara musim dingin
yang masih terasa.
“Apa maksudnya? Orangtuanya meninggal? Kecelakaan?,” CNU
yang sama sekali tidak mengerti kata-kata Baro langsung bertanya. Baro memilih
diam dan meminum habis coklat panasnya dan menaruh gelasnya lagi dimeja.
“Kita bicara diluar saja hyung.. makasih coklat panasnya,”
Baro berdiri, diikuti CNU. Mereka berjalan menuju pintu kafe dan keluar,
menyusuri jalan Seoul yang masih sedikit bersalju.
“Orangtuanya meninggal dibunuh..,” setelah cukup jauh dari
kafe itu, Baro memecah keheningan diantara mereka. CNU menatapnya, memintanya
melanjutkan ceritanya.
“Kudengar pembunuhnya itu pamannya sendiri. Padahal pamannya
itu yang mengurusnya saat dia kecil. Mungkin dia kaget dan langsung berlari
keluar. Pamannya mengejarnya dan akhirnya mereka tertabrak mobil.. Menurutku
sih itu kejadiannya.. bedasarkan info dari tetangganya,” CNU percaya pada
kata-kata sahabatnya. Memang Baro itu cocok menjadi detektif, dapat informasi
langsung tahu kejadian aslinya. Beberapa kali memang sering seperti itu,
termasuk saat kafe appanya dirampok sekitar 3 tahun yang lalu.
To Be Continue
Tidak ada komentar:
Posting Komentar