Minggu, 27 Juli 2014

[FF] Stay Away - Part 10 (End)


Author                  : Park Je Won

Title                      : Stay Away

Main Cast           : B1A4, Sungmin Suju

Other Cast          : You can find.. :D

Legth                   : Part

Genre                  : Friendship, Family, Brothership

Note                    : Author kembali~ :D dengan membawa 1 FF gaje yang dibuat ngebut sesuai kemampuan otak author. Author masih amatir jadi maklum aja ya kalo jelek.. ._. FF ini asli milik author.

Part 10 : The Final

Sungmin menatap lirih dinding dihadapannya. Menyesal akan perbuatannya 10 tahun yang lalu pada kedua orangtuanya.

Flashback..

Sungmin yang saat itu masih berumur 11 tahun, masih seorang anak yang sensitif dan tempramental. 5 tahun yang lalu appa dan eommanya mengirimnya ke Jepang dan menitipkannya pada seorang ajussi. Setelah itu tidak ada kabar sama sekali. Sungmin yang merasa ditelantarkan begitu saja oleh kedua orang tuanya marah dan kesal. Apalagi saat mengetahui surat-surat yang diberikan padanya atas nama ‘appa dan eomma’ adalah surat palsu yang ditulis oleh ajussi yang merawatnya.

Dan sekarang entah waktu yang sangat tidak tepat atau memang takdirnya, dua orang paruh baya yang duduk di depannya membuka paksa memori pahitnya 5 tahun yang lalu.

“Sungmin-ah.. Kau mau kembali Seoul lagi kan?,” Sungmin mendelik tajam ke arah orangtuanya.

“Ani. Aku ini orang jepang, bukan korea. Jangan pernah membawaku ke Seoul..,” Sungmin menjawab dengan dingin.

“Sungmin-ah.. kami benar-benar minta maaf atas kejadian 5 tahun yang lalu. Sungmin-ah.. kami datang untuk menjaemputmu, kami ingin mengajakmu kembali ke keluargamu dan hidup dengan bahagia, seperti dulu,” Sungmin masih menatap kedua orang itu kesal. Dia tidak mempercayai satupun perkataan ajussi dan ajumma didepannya.

“Nugu? Keluarga? Sebaiknya kalian pergi saja, aku tidak akan mengubah keputusanku sampai kapanpun. Bahkan ajussi jauh lebih baik daripada kalian. Aku permisi,” Sungmin langsung pergi memasuki kamarnya sambil membanting pintunya dengan keras, menahan emosi yang hampir meledak saat itu juga. Ajumma dan ajussi yang merasa terpukul karena perilaku anaknya hanya menahan air mata yang sudah hampir terjatuh. Mereka tahu, ini bukan salah Sungmin. Ini salah mereka yang sampai membuang anak itu hanya karena kurang biaya. Sementara itu, Sungmin sendiri masih menangis dibalik pintu kamarnya. Dia tahu, dia sendiri tidak bisa berkata begitu pada kedua orangtuanya, kata-kata itu muncul dengan sendirinya saat dia teringat 5 tahun yang lalu.

“Mianhae, appa.. eomma,” gumam Sungmin sambil terus terisak, masih tidak menyangka dia yang mengatakan hal seperti itu pada kedua orangtuanya. Pada dasarnya, dia memang ingin ke Seoul, kembali ke keluarga lamanya yang sudah ditunggunya dari 5 tahun yang lalu. Tapi, emosi yang lebih dominan dibandingkan rasa rindunya itu membuatnya meledak setiap melihat orangtuanya.

Flashback end..

Namja itu menghela napasnya lagi, entah sudah yang keberapa kalinya.

“Apa.. aku keterlaluan?,” Sungmin bergumam pelan, walaupun dia sudah tahu jawabannya, tentu saja membentak orang tua sendiri tanpa alasan bisa disebut keterlaluan. Tiba-tiba saat Sungmin berniat untuk merebahkan tubuhnya di kasur empuknya, terdengar suara seseorang membuka pintu apartemen. Sungmin yang mengira Sandeul baru pulang dari suatu tempat langsung mengubur pemikirannya itu mengingat sekarang baru pukul 4 pagi. Tapi, Sungmin tetap diam, menghiraukan pemikiran itu saat matanya mulai mengantuk. Sungmin masih berpikir, dia tidak bisa tidur walaupun sudah sangat mengantuk. Apa kecelakaan dongsaengnya pagi? Ani.. dari hasil penyelidikan polisi kan kecelakaan itu malam. Apa takdir berubah dan kecelakaannya menjadi pagi?! Lalu.. suara barusan.. apa Sandeul keluar? Bukan masuk?

Sungmin langsung berdiri dari tidurnya dan melangkah cepat menuju kamar Sandeul. Berharap melihat dongsaengnya di dalam sana. Berharap pikirannya salah dan dia akan melihat Sandeul sudah tertidur sekarang. Biar bagaimanapun, takdir bisa saja berubah. Terutama karena dia sudah mengubah takdir dongsaengnya semalam. Dan yang membuatnya kesal, dia sudah tidak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya karena jalan cerita ini sudah berbeda, bukan lagi sebulan yang lalu. Dia sudah membuat takdir baru.

“Sandeul-ah..?,” Sungmin memanggil dari depan pintu dongsaengnya. Tidak ada jawaban, dia memutuskan untuk masuk. Kosong. Kemana bocah itu malam-malam begini? Sugmin menutup pintu kamar dongsaengnya dan mengambil ponsel dari sakunya, memutuskan menelepon Sandeul. Tapi yang terdengar malah dering ponsel Sandeul dari dalam kamar itu. Sungmin memutuskan sambungan teleponnya dan mendesis kesal. Sekarang dia menyesal tidak langsung keluar setelah mendengar suara pintu terbuka  tadi. Dan sialnya, hujan yang tadinya hanya gerimis bertambah deras, membuat hawa dingin menusuk sempurnya kulitnya biarpun sudah memakai baju berlengan panjang.

“Lee Sandeul..!!,” Sungmin berteriak agak keras, berharap orang yang dicarinya muncul karena barusan dipanggil. Setelah beberapa saat masih tidak ada jawaban, Sungmin berjalan cepat ke arah sofa, mengambil jaket tebalnya dan sebuah payung di sebelah pintu keluar apartemen.

~ ~ ~ ~ ~

Jinyoung yang baru pulang dari rumah CNU, setelah 3 jam memikirkan resep kopi baru di restoran mereka berdiri meneduh di halte bis setelah merasakan rintik-rintik kecil yang menimpa kepalanya menjadi besar dan banyak. Setengah rambutnya sudah basah, beruntung dia membawa jaket. Setidaknya tubuhnya tidak akan terlalu kedinginan walaupun sejujurnya tubuhnya sedikit bergetar sekarang ini.

“Hyung..?,” terdengar suara yang memanggilnya dari belakang, refleks Jinyoung membalikkan tubuhnya dan menemukan Gongchan yang juga setengah basah sepertinya menatapnya dengan tatapan ehm.. bahagia? Bahagia karena menemukan teman untuk meneduh di halte pagi-pagi buta seperti ini? Entahlah.

“Chan-ah.. kenapa kau pagi-pagi begini ada diluar?,” Jinyoung yang heran melihat Gongchan ada diluar, padahal sekarang baru jam setengah lima pagi. Biasanya namja itu masih asik dengan mimpinya di dunia pororo.

“Ah~ seingatku aku minum dengan Sandeul hyung.. barusan aku terbangun dan aku sudah ada di kamarku. Aku ingin mengurus dokumen appa yang belum sempat kuurus kemarin malam,” Gongchan menjawab sambil berjalan mendekat ke arah Jinyoung. Bau soju tercium jelas di hidung Jinyoung.

“Kau.. masih mabuk?,” Jinyoung bertanya ragu pada Gongchan.

“Ani.. sudah 3 jam yang lalu. Hanya masih sedikit pusing, mungkin karena masih dibawah umur”

“Memangnya kenapa kau bisa sampai minum begitu?,”Jinyoung duduku di kursi, diikuti Gongchan.

“Kau belum tahu ya? Appa meninggal..,” perkataan Gongchan membuat Jinyoung langsung menoleh ke arah namja yang masih memandang kosong hujan lebat diluar halte.

“Kau serius?”

“Hyung pikir ini bisa dijadikan candaan? Mian karena selama ini berpura-pura tidak mengenalmu.. itu perjanjianku dengan appa”

“Gwaenchana.. bukan masalah bagiku,” Jinyoung tersenyum kecil sambil terus memperhatikan hujan yang belum reda juga, malah semakin lebat, seakan semua air untuk satu bulan tumpah dalam waktu yang bersamaan.

~ ~ ~ ~ ~

Sandeul masih berjalan sejak setengah jam yang lalu. Entah dia mau kemana, yang jelas kakinya terus memaksanya berkeliling Seoul yang masih agak sepi. Otaknya masih memikirkan perkataan Gongchan saat namja itu mabuk. Kenapa Sungmin memilih bercerita yang sebenarnya dengan Gongchan dibanding dengannya? Apa katanya? Sungmin memarahi orangtuanya dan menolak kembali ke Seoul? Bukankah Sungmin bilang padanya appa dan eommanya tidak pernah menghubunginya setelah dititipkan di Jepang? Lalu surat apa yang dibacanya dulu? Apa Sungmin sendiri yang membuatnya? Atau rencana appa dan eommanya juga?

Ah..! Kepalanya serasa mau pecah sekarang. Belum lagi ditambah hujan yang terus mengguyurnya selama setengah jam ini. Dingin juga sudah menusuk kulit putihnya sampai ke tulang. Dengan cerobohnya, bukan.. dengan malasnya dia keluar apartemen tanpa membawa jaket ataupun payung. Bodoh memang, padahal sejak keluar apartemen dia tahu kalau diluar gerimis. Dan sekarang tidak ada niat sama sekali dari tubuhnya untuk sekedar berlindung dari hujan deras, biarpun kepalanya sudah pusing dan wajahnya pucat pasi. Sandeul masih berjalan santai kedepan, tidak menyadari seseorang mengikutinya dari belakang. Dia tidak peduli lagi kalau sakit, bahkan dia tidak peduli lagi kalau sampai pingsan.

Sementara itu, Jinyoung dan Gongchan yang masih hening, sama-sama terkejut melihat seseorang di sebrang jalan yang berjalan dengan santainya, seolah langit cerah sedang menyapanya dengan tersenyum saat ini.

“Apa dia gila?!,” refleks yang bersamaan. Jinyoung dan Gongchan yang sama-sama terkejut memekik heran. Apa-apaan orang itu? Cuaca sedingin ini hanya memakai kaos pendek dan tipis? Mau bunuh diri ya..?! Dan hal yang paling membuat mereka terkejut adalah.. namja itu Sandeul..?

“Lee Sandeul!!,” Jinyoung langsung berdiri dan berteriak, berusaha mengeluarkan suara terbesarnya untuk melawan derasnya hujan.

“Sandeul hyung!!,” Gongchan juga berteriak disebelahnya. Merasa ada yang memanggilnya, Sandeul bukannya menoleh malah mempercepat langkahnya, dia tidak ingin bertemu siapapun saat ini. Jinyoung dan Gongchan tidak mungkin mengejar namja yang sudah semakin jauh itu kalau tidak mau demam 2 jam kemudian. Gongchan hanya menghela napas kesal.

“Apa yang dilakukannya disini?,” Jinyoung berbicara dengan sedikit emosi. Bagaimana kalau Sandeul sakit? Lagipula dimana Sungmin? Apa bocah ini pergi diam-diam? Tidak lama kemudian, terlihat namja lainnya yang berjalan terburu-buru sambil melihat sekeliling dengan membawa payungnya, terlihat jelas dia sedang mencari seseorang. Lee Sungmin, panjang umur kau. Jinyoung dan Gongchan menghela napas lega. Saat Sungmin menoleh ke arah mereka, seakan tahu apa yang ingin ditanyakan Sungmin, Jinyoung dan Gongchan langsung menunjuk ke arah kanan, menandakan Sandeul baru pergi kesana. Sungmin mengangguk dan tersenyum lebar, seakan mengatakan terimakasih.

~ ~ ~ ~ ~

“Sandeul-ah!,” untuk kesekian kalinya Sungmin berteriak keras melawan suara lebatnya hujan pagi ini. Dia yakin beberapa jam lagi tenggorokannya pasti langsung sakit karena terlalu keras berteriak-teriak. Sedangkan Sandeul, seakan tidak mendengar, semakin mempercepat jalannya dan tanpa disadari dia berlari menjauh dari Sungmin. Dia hanya tidak ingin bertemu siapapun, dia hanya ingin sendiri. Tapi, tubuhnya yang memang sudah terasa lemas dari kemarin malam, memaksanya berhenti tidak jauh dari sana.

“Lee Sandeul,” Sungmin yang tidak bisa dibilang bodoh langsung menghampiri Sandeul dan berdiri didepannya. Sandeul yang melihatnya hanya menatap hyungnya, antara kesal, memelas, maaf, takut, semuanya menjadi satu. Ia kesal karena Sungmin membohonginya, ia ingin manja seperti biasanya, dan terkakhir, ia takut hyungnya tiba-tiba marah karena keluar tanpa izin. Sejujurnya, Sungmin agak kaget melihat keadaan Sandeul. Wajah pucat pasi yang terlihat jelas dan tubuh yang terlihat bergetar kedinginan itu membuat emosinya meluap dan tergantikan dengan rasa kekawatiran.

“Sandeul-ah..,” Sungmin melangkah maju. Tapi, sebaliknya Sandeul malah melangkah mundur. Dan Sungmin yang menyadari hal itu berhenti melangkah.

“Wae?,” Sungmin menatap ragu dongsaengnya yang sekarang menatap kecewa ke arahnya.

“Wae? Harusnya aku yang bilang begitu padamu, hyung..,” suara bergetar yang dikeluarkan Sandeul membuat Sungmin diam, dia hafal situasi ini. Dan dia tidak ingin dongsaengnya pingsan sebentar lagi.

“Sandeul-ah.. ayo pulang. Sekarang,” Sungmin berjalan mendekat tapi Sandeul malah mundur lagi, seperti kejadian sebelumnya.

“Wae? Kenapa kau berbohong? Katamu kau tidak pernah bertemu appa dan eomma!!,” teriakan Sandeul membuat Sungmin diam, tidak bergerak sama sekali. Darimana Sandeul tahu hal ini?

“Kenapa tidak memberitahuku? Kenapa kau berbohong, HAH?!,” Sandeul berteriak kesal, sedangkan Sungmin masih mematung ditempatnya. Beberapa detik hening.. hanya ada suara derasnya hujan sampai Sungmin tersadar saat melihat mata Sandeul yang mulai sayu. Bodoh.. anak itu bisa pingsan sekarang juga kalau kau tidak menolongnya, Lee Sungmin.

“Sa..sandeul-ah,” Sungmin melangkah lagi, tapi langkahnya langsung berhenti saat melihat cairan bening yang terhapus oleh hujan. Dia tahu Sandeul menangis. Mungkin lebih baik mati sekarang kalau Sungmin tetap memaksa mendekatinya. Tidak akan jadi masalah kalau Sandeul sekedar tahu Sungmin pernah bertemu kedua orangtuanya dan membohonginya, itu bukan masalah sama sekali bagi Sandeul. Tapi, dia juga tahu Sungmin yang memarahi kedua orangtuanya dan pergi begitu saja.

“Eomma sampai berpura-pura menikah dengan orang lain hanya karena ingin memberikan hidup yang layak untuk anak-anaknya! Dan sekarang aku tahu.. penyebab utama eomma melakukannya itu karenamu, hyung!!,” perkataan Sandeul memang benar. Penyebab utama eomma dan appanya seperti itu karena sakit hati tidak bisa memberikan uang yang cukup untuk anak sendiri, malu menjadi orang tua yang bahkan menitipkan anaknya pada orang lain.

“Geumanhae. Ayo pulang sekarang, Lee Sandeul.,” Sungmin berkata dengan datar, menahan emosi yang hampir mengeluarkan air matanya secara otomatis.

“Mwo? Bahkah kau saja tidak tahu nama asliku kan? Namaku bukan Lee Sandeul! Itu hanya panggilan! Namaku Lee Junghwan, pabo!!,” Sandeul berteriak kesal. Entah kenapa dia ingin dipanggil Junghwan sekali saja. Dia ingin kembali ke kehidupan damainya saat masih dipanggil Junghwan dulu. Perlahan, nafas namja ini semakin berat, dadanya terasa sesak. Kepalanya pusing dan serasa ingin muntah. Setelah itu yang bisa didengarnya hanya suara Sungmin yang memanggil namanya berulang kali, itupun semakin lama semakin mengecil, pandangannya pun sudah gelap total.

~ ~ ~ ~ ~

“Hyung.. kau bisa datang ke rumah sakit sekarang?,” Baro menelepon Sungmin setelah ada seorang ajumma yang mencari Sungmin untuk berobat suaminya, pasien tetap Dokter Lee.

“Mian, Baro-ya.. aku tidak bisa,” Sungmin menjawab dengan nada menyesal pada Baro.

“Tapi, hyung.. pasien hyung mencarimu. Katanya suaminya pingsan beberapa jam yang lalu,” perkataan Baro membuat Sungmin teringat ajussi pasiennya, pasien yang juga pindahan dari Jepang ke Korea.

“Ah~ Kim ajussi? Tunggu sebentar,” Baro tersenyum pada ajumma didepannya, yang sedati tadi mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek keadaan Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin menghela napas berat. Tidak  bisa.. harus dibawa ke rumah sakit.mencari Sungmin. Sedangkan Sungmin mengecek keadaan Sandeul yang masih terbaring di kasur apartemennya. Setelah itu Sungmin menghela napas berat. Tidak  bisa.. harus dibawa ke rumah sakit.

“Aku akan kesana sekarang,” perkataan Sungmin membuat Baro tersenyum lalu mengangguk pada ajumma yang juga tersenyum lega. Setelah itu sambungan telepon terputus.

“Sebentar lagi dia datang,” perkataan Baro membuat senyum ajumma itu semakin lebar.

“Kamsahamnida.. jeongmal kamsahamnida,” ajumma itu menyalami Baro yang sedikit menunduk itu.

~ ~ ~ ~ ~

Sungmin yang sedang berbicara dengan ajumma tentang keadaan suaminya mengirimi Baro pesan untuk datang ke kamar nomor 207. Baro yang bingung hanya menuruti tanpa protes. Dan sekarang, Baro terkejut saat melihat nama yang tercantum di depan pintu bernomor 207 itu. Tertulis, ‘Pintu 207, Lee Junghwan’. Detik selanjutnya, Baro memasuki kamar dengan terburu-buru. Apa yang anak ini lakukan sampai bisa masuk rumah sakit pagi-pagi begini? Baro mengurungkan niatnya untuk teriak saat melihat namja itu masih tertidur. Atau pingsan? Entahlah.. yang jelas matanya tertutup sekarang. Baro mendekatkan kursi yang agak jauh ke dekat tempat tidur Sandeul. ada pa sebenarnya? Kenapa dia bisa ada disini? Wajahnya tidak lebam atau luka.. hanya pucat. Tidak lama kemudian, Sungmin masuk. Baro yang melihatnya langsung berdiri.

“Hyung.. ada apa sebenarnya?,” Baro langsung bertanya dengan wajah kawatir.

“Masalahku.. ini salahku. Baro-ya.. aku bisa menitipkannya padamu kan? Di rumah sakit aku hanya dokternya, bukan hyungnya..,” Sungmin tersenyum miris. Janjinya benar-benar membuatnya tidak bebas.

“Arasseo.. gwaenchana,” Baro tersenyum sedikit. Dia ingat saat appanya juga memperlakukannya seperti itu. Sungmin mendekat ke arah Sandeul dan memeriksa keadaannya.

“Sudah membaik. Aku pergi dulu,” Sungmin berjalan keluar kamar. Baro kembali duduk dan Sandeul mulai membuka matanya. Perlahan, cahaya masuk ke dalam matanya.

“Kau sadar?,” suara Baro membuat Sandeul menoleh ke arahnya dan berusaha menegakkan tubuhnya.

“Kenapa aku bisa ada disini?”

“Entahlah.. saat melihat namamu di pintu depan aku langsung masuk..,” Baro menjawab sambil tersenyum. Sedangkan Sandeul masih berusaha memutar otaknya. Ah~ dia ingat sekarang. Setelah membentak hyungnya dia langsung pingsan. Jadi Sungmin yang membawanya kemari? Sepertinya dia harus minta maaf karena sudah membentaknya. Lamunan Sandeul dibuyarkan dengan suara nyaring dari ponsel milik Baro.

“Ne, eomma?”

“Ah~ sekarang?,” Baro melirik ke arah Sandeul.

“Gwaenchana,” Sandeul seakan mengetahui maksud Baro, menjawabnya pelan.

“Arasseo..,” Baro menutup teleponnya.

“Sandeul-ah.. mian eommaku menyuruhku pulang,” Baro tersenyum ragu ke arah Sandeul, Sandeul hanya tersenyum seperti biasa.

“Gwaenchana.. pulanglah,” Sandeul menyuruh Baro untuk pulang. Sedangkan Baro hanya mengangguk sambil tersenyum senang.

“Aku pergi. Jaga dirimu!,” Baro langsung melesat ke arah pintu keluar. Sandeul yang melihatnya hanya memandang aneh ke arah pintu yang sudah tertutup rapat.

Oh iya, Sungmin.. dia hampir lupa ingin meminta maaf pada Sungmin.

~ ~ ~ ~ ~

“Wae shireo? Ini enak~,” Sungmin yang sedang membujuk pasien laki-laki berumur 5 tahun itu berjongkok untuk menyamakan tinggi badan mereka. Mendengar pasiennya tidak mau makan obat membuatnya harus membujuk dengan cara tersendiri.

“Obat itu pahit~ Seojoon tidak mau meminumnya..!,” anak kecil itu masih tidak mau meminumnya.

“Tidak pahit.. ini enak, Seojoon-ah.. Obat ini sudah dimasukkan kedalam madu.. kau minum ya? Ini manis kok,” Sungmin masih menyodorkan segelas madu yang sudah dicampur dengan obat. Seojoon masih terlihat ragu untuk meminumnya tapi pada akhirnya dia mengambil dam meminumnya.

“Enak~”

“Benar kan? Nanti sore kau minta eommamu membuatkannya untukmu.. sekarang kembali ke kamar dan istirahatlah..,” Seojoon yang tadinya ditemani suster itu dibawa kembali ke kamarnya.
Sungmin yang menyadari ada yang memperhatikannya membalikkan tubuhnya saat Seojoon sudah masuk ke kamarnya.

Sandeul masih berdiri di tempatnya sambil memegang tiang infusnya. Dia melihat Sungmin yang masih memperhatikan pintu yang sudah tertutup, setelah itu Sungmin tiba-tiba menoleh ke arahnya.

“Sudah sadar? Ada yang sakit?,” Sungmin tersenyum sambil berjalan mendekat ke arahnya.

“Hyung..”

“Ah~ Baro belum memberitahumu? Sandeul-ssi.. Disini aku doktermu, bukan hyungmu.. Isitrahatlah dulu, kau belum boleh banyak berjalan,” Sungmin berjalan mendahului Sandeul. Tapi langkahnya berhenti saat mendengar Sandeul berbicara lagi padanya.

“Hyung.. mianhae..”

“Sandeul-ssi,” Sungmin berbalik sambil mentap Sandeul datar, biarpun sebenarnya siapapun yang melihatnya tahu Sungmin menahan emosinya lewat tatapan datar itu.

“Aku tidak peduli. Bisakah aku menganggapku dongsaeng disini? Hanya 2 menit.. aku janji,” suara Sandeul yang bergetar membuat tatapan Sungmin melunak. Bolehkah dia melanggar janjinya? Hanya 2 menit kan? Sepertinya tidak apa-apa. Dia ingin melanggar janji itu sekarang.

“Aku hanya ingin minta maaf. Aku janji akan selesai dalam 2 menit. Boleh kan?,” Sandeul bertanya lagi. Lagipula bukannya Sungmin yang harus minta maaf? Bukankah Sungmin yang membohonginya?

“Baiklah.. katakan sekarang. 2 menit untukmu, Sandeul-ah,” Sungmin menghela napas pasrah. Dia hanya berharap CCTV sedang rusak atau penjaga CCTV itu tertidur.

“Aku mau minta maaf kemarin membentakmu. Mian kemarin membuatmu kawatir. Dan sekali lagi mian merepotkanmu membawaku sampai kesini. Aku sendiri tidak menyangka bisa mengatakan hal seperti itu padamu. Bisa kau  lupakan semua tuduhanku kemarin? Termasuk saat aku mengtaimu pabo.. jeongmal mianhae, hyung,” Sandeul menundukkan kepalanya. Merasa malu mengatai hyungnya sendiri pabo, penyebab semua kejadian ini, dan hal lainnya.

“Wae? Kenapa kau minta maaf?”

“Ne?”

“Harusnya aku yang minta maaf..! Emosiku masih belum stabil dulu. Kau tidak perlu minta maaf karena memang kau tidak salah. Mianhae, Lee Junghwan,” Sungmin mendekat dan memeluk Sandeul pelan. Masih terasa tubuh Sandeul yang terasa panas, demam anak ini belum sembuh ternyata.

“Hyung..”

“Kau masih sakit..! Cepat kembali ke kamarmu..!,” Sungmin melepas pelukannya dan mendorong Sandeul agar kembali ke kamarnya sambil tersenyum.

~ ~ ~ ~ ~

5 tahun kemudian..

Terdengar bel apartemen berbunyi. Sungmin yang berdiri tak jauh dari sana langsung membukakan pintu.

“Baro-ya..!,” Sungmin mempersilahkan Baro masuk sambil tersenyum.

“Sandeul tidak ada disini..”

“Ani.. aku mencarimu, hyung.. aku ingin minta diajarkan materi ini,” Baro mengeluarkan buku kedokterannya dan memberikannya pada Sungmin.

“Kau kuliah kedokteran?,” memang terakhir kali dia mendengar Baro masuk kedokteran tapi, dia tidak tahu kalau itu kenyataan. Sungmin tersenyum dan mulai menjelaskan materi pada Baro.

~ ~ ~ ~ ~

CNU yang membuka cabang kafe milik ayahnya sekarang sudah memiliki 5 cabang hanya dalam waktu 2 tahun. Kafenya berkembang pesat sejak semua menunya dia ubah bersama Jinyoung.

“Jinyoung-ah! Jangan lupa nanti malam..!,” seorang yeoja yang tinggi dan cantik berteriak pada Jinyoung sebelum meninggalkan kafe.

“Arasseo!,” Jinyoung menjawabnya sambil tersenyum. Yeojachingunya menerima ajakan kencannya dan itu membuatnya merasa sangat senang. Terdengar suara seseorang dari belakang.

“Ehm.. Kau ini.. kenapa tidak sekarang saja?”

“Sekarang? Lalu kafenya?”

“Kau pikir aku hantu? Sana pergi!,” Jinyoung tersenyum pada CNU sebelum meninggalkan celemek dan berlari keluar, mengejar yeojachingunya yang sudah beberapa meter didepannya.

“Jinhee-ya~”

“Jinyoung-ah..! Bukannya..? Nanti malam?”

“Ani.. ayo ke taman sekarang!,” Jinyoung langsung menarik tangan yeojachingunya ke taman yang mereka rencanakan malam ini.

~ ~ ~ ~ ~

“Ya! Sudah kubilang pusatkan kekuatanmu disini!,” terdengar suara seorang namja yang memarahi muridnya di dalam ruang latikan taewondo.

“Ah~ sulit sekali..,” muridnya yang masih berumur sekitar 14 tahun itu mengeluh kesal karena balok itu masih belum pecah juga. Padahal dia sudah mencoba memecahkannya lebih dari 10 kali.

“Baiklah.. intirahat dulu,” namja itu berjalan ke pojok ruangan dan meminum air mineralnya.

“Sandeul hyung!,” Gongchan menghampiri Sandeul yang masih duduk di pojok ruangan.

“Kau disini? Kupikir kau masih ada di perusahaanmu itu..,” Gongchan hanya tersenyum menanggapinya.

“Hyung.. aku mau latihan.. sudah lama aku tidak latihan bersamamu. Lagipula berada di perusahaan terus menerus membuatku muak dengan apapun yang berhubungan dengan kertas,” Gongchan menyandarkan tubuhnya pada dinding.

“Benarkah?,” Sandeul sedikit tersenyum menanggapinya. Gongchan yang dikenalnya sekaranng bukan lagi namja manja yang dulu dikenalnya. Gongchan yang sekarang sudah bertanggung jawab dan lebih dewasa.

“Kajja,” Gongchan menarik Sandeul ke ruang berlatih milik mereka dan mulai berlatih.

Masa lalu yang tidak menyenangkan pasti tidak diharapkan oleh semua orang..

Tapi, percayalah.. hidup itu adil..

Semua orang memiliki kelemahan biarpun fisik atau batin..

Dan semua orang juga memiliki kelebihan yang lain dari pada orang lain..

Jadi, seburuk apapun masa lalu.. masih ada hari esok yang memberikan kita harapan..


The end

Tidak ada komentar:

Posting Komentar